Rabu, 22 Februari 2017

DIBALIK SEBUAH PILIHAN



Ujian Nasional belum juga dimulai, namun para murid sudah harus menentukan pilihan universitas dan jurusan yang ingin dituju setelah lulus SMA. Menurut mitos yang beredar memilih pekerjaan dan jodoh adalah pilihan yang tersulit dalam hidup ini, karna kedua hal ini akan dijalani sepanjang sisa hidup kita, jika salah dalam memilih maka sisa hidupmu tak akan bahagia bahkan jiwa akan memberontak untuk bisa keluar dari pilihan itu lalu move on kepilihan baru hingga didapat arti sebuah kenyamanan. Buah yang saat ini kita petik merupakan hasil dari benih yang kita pilih sebelum menanamnya, karna hasil tak akan pernah mengkhiyanati sebuah pilihan. Pilihan untuk diam saja, berjalan ke kanan atau ke kiri, atau berlari lalu berhenti, semua itu akan berakhir pada sebuah tujuan sesuai keinginan ataupun tidak.
Terdengar suara sepatu pantofel mendekati ruang kelas kami yang saat itu sedang ramai atau mungkin memang selalu tak pernah sepi dengan semua gumaman 20 anak manusia yang terlahir terisolir dari dunia luar. Ya karena letak kelas kami yang diapit oleh lobi dan ruang TU serta jauh dari jangkauan kelas lain membuat kita terisolir dan memilih makan, shalat, tidur nonton TV, main PS, mengerjakan PR (ups ini PR yang baru saja di kasih ya) di ruangan kelas ini saat istirahat.
Seorang ibu cantik nan berwibawa, Bu Aisyah namanya, salah satu guru bimbingan konseling di sekolah kami, menebarkan senyum menawan sebelum masuk kelas, lalu duduk tepat di kursi guru.
“Assalamua”alaikum, selamat pagi”
“Walaikumsalam warohmatulallhi wabarokatu”
“ini ada pengumuman tentang SNMPTN undangan, setelah dilihat dari nilai rapot alhamdulillah kelas ini, semua medapatkan kesempatan untuk mendaftar SNMPTN undangan kecuali Rizal, Deni, dan Gusta. Maaf ya nak, jangan berkecil hati, kalian bertiga bisa daftar diploma yang tanpa test. Silahkan dipikirkan mau daftar mana”
Satu diantara 20 murid di kelas, yaitu aku menganggat tangan dengan wajah penuh tanya
“Kalau daftar kebidanan bisa tidak bu?”
“Kalau bisa jangan bidan atau guru ya, itu sudah sendayak koplak (terlalu banyak), sekarang itu cari jurusan yang langka agar peluang kerjanya lebih besar. Soalnya banyak sarjana yang sekarang bergelar pengangguran. Nanti coba dipikirkan lagi ya nak, kalau bisa jangan bidan ya”
Ku hanya bisa membisu, mengangguk tanda ku tak mengerti namun agar telihat menghormati. Keyakinan dan impianku tiba tiba runtuh. Harapan orangtuaku terkikis. Butir butir angan menjadi seorang bidan rasanya sudah terbawa angin kebimbangan, perkataan Bu Aisyah tak bisa dipungkiri kebenarannya. Bidan di Indonesia sudah menjamur kecuali di wilayah pelosok yang masih kental dengan budaya, mitos dan bau bau mistis.
Sebelum ini, memang ku pernah diterpa kebimbangan yang sama seoerti ini. Ibuku adalah seorang bidan, ku sangat mengaguminya meski ku tak pernah tau apa saja yang dia lakukan sebagai seorang bidan, namun hampir semua orang di dusunku Way Kekah dan dusun sekitarnya begitu menghormatinya. Dia adalah tenaga kesehatan yang pertama kali membuka praktek dan meningkatkan derajat kesehatan di dusun way kekah ini. Ku tau tentang sulitnnya perjuangannya dulu hanya lewat cerita orang orang yang ikut menyaksikan ibuku disepelekan dan tak dipercaya sebagai seorang tenaga kesehatan karna postur tubuhnya dan wajah yang masih terlihat belia, dimarahi orang pribumi asli lampung yang berwatak keras karna anaknya demam setelah diimuniasi, dan cerita pilu lainnya. Namun ibu membisu tentang itu semua, di depanku tak pernah sepatah keluhan keluar dari bibir manisnya. Oleh sebab itu ku cita-citaku dari kecil ingin menjadi seperti ibuku yaitu menjadi seorang bidan. Meski sedari kecil aku begitu takut dengan hal-hal yang berbau rumah sakit. Ketika umurku masih 2 tahun, umur dimana aku tak bisa mengingat kejadian apapun yang ku alami saat itu, tapi aku hanya mendengar cerita dari orang lain tentang aku dan keluargaku yang liburan bersama staf-staf puskesmas ke suatu danau yang tampak begitu indah (di album kenangan bapakku), danau ranau namanya. Di sana kita bermalam di sebuah penginapan yang memiliki kamar bersih dengan kasur serta nuansa kamar berwarna putih, menurut cerita ibuku di sana aku menangis dan tak mau tidur di kamar dengan berdalih bahwa kamarnya seperti kamar rawat inap di rumah sakit. Akhirnya ibuku rela menemaniku dan mendekapku saatku terlelap tidur di luar kamar dengan beralaskan tikar dan ditemani puluhan nyamuk yang haus akan darah.
Belum lagi aku dari kecil begitu takut dengan luka yang berdarah meski luka tak terasa bergitu sakit jika ku melihat ada darah, ku akan menangis histeris saat kecil seperti seorang anak yang hilang ditengah taman hiburan yang begitu ramai orang berdesak desakan layaknya antri sembako. Hingga ku dewasa seperti saat ini aku cukup sedikit pusing jika melihat darah dari lukaku ataupun luka oranglain.
Semua itu lantas tak menyurutkanku untuk menjadi seorang bidan seperti ibuku. Hingga aku pun duduk dibangku SMA, aku bisa melihat dan merasakan sebagian keletihannya saat ibuku harus bangun malam untuk berjuang bersama seseorang ibu yang rela menolak tawaran masuk surga jika dia meninggal dalam kondisi berjihad (melahirkan), demi sebuah hidup yang merepotkan untuk mendidik dan merawat anaknya. Pekerjaan ibuku tak kenal waktu, karna bayi lahir pun tak mengenal waktu lelah atau tidak, waktu malam ataupun siang. Saat kita sekeluarga pergi bersama, handphone ibuku sering bergetar yang terkadang memaksa kami untuk pulang meski itu tanggal merah maupun hari raya. Badai kembimbangan semakin kencang ketika bidan bidan yang sislih berganti ikut membantu ibuku mengeluh sulitnya mencari pekerjaan, lelahnya menjadi bidan, bahkan tak sedikit dari mereka menyesal menjadi bidan. Kini harapan itu semakin runtuh diterpa argument dari bu Aisyah, perkataannya sangat mempengaruhi pola pikirku sebagai seorang murid yang selalu setuju hampir seluruh pendapat gurunya. Telingaku serasa tertutup oleh kebimbangan, aku tak bisa mendengar dan menyimak pertanyaan yang di ajukan teman lainnya serta jawaban dari guru Bimbingan konseling itu.
“Sudah tak ada pertanyaan lagi, ibu tutup. Wasssalamua”alaikum”
“wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu, terimaksih bu guru”
Kalimat terimasih selalu kami diucapkan secara kompak setelah seseorang atau sekelompok orang berdiri didepan kelas kami untuk mengajar atau hanya sekedar memberikan informasi. Ini sudah menjadi tradisi di kelas akselerasi, konon ini inisiatif dari kakak kelas yang sampai sekarang aku tidak tau angkatan berapa yang memiliki inisiatif itu.
Sepatu pantofel itu mulai melangkah keluar ruangan bersamaan dengan itu bibir 19 murid kelasku membuka dan mulai berbincang, entah apa yang mereka bicarakan, sedang aku tetap membisu, wajahku seperti berpikir tetang suatu hal sedang pikiranku kosong. Ingin cepat menginjakan kaki di rumah untuk mendapatkan pendapat ibu dan bapak. Tanpa ridhonya aku tak akan mendapat ridho Allah, dengan murkanya aku juga mendapat murka Allah. Coba ku hapus kebimbanganku dan mulai bercengkrama dengan teman lain yang sudah terlihat mantap dengan pilihannya masing masing.
Jam dinding yang menempel di dinding kelas bagian belakang menunjukan waktu pukul 16.45 WIB, itu berarti waktu dimana para siswa diminta untuk belajar di rumah. Seperti biasa aku dengan beberapa teman yang rumahnya berjarak lumayan jauh harus melaksanakan shalat azhar dulu sebelum berniat untuk pulang karna terkadang ketika adzan magrib dikumandangkan kita masih diperjalanan atau bahkan kita masih setia berdiri di perempatan jalan menunggu angkutan sesuai tujuan kita masing masing. Seselesainya shalat semua mengambil posisi masing masing sesuai tujuannya, seorang pulang dengan tujuan wates, dua orang pulang dengan tujuan unit 2, dan aku dengan tujuan yang tak sejauh mereka, menempuh perjalnan hingga 1 jam bahkan lebih, sedang aku cukup butuh waktu 15 menit jika lanacar untuk sampai kerumah namun mobil atau angkutan dengan tujuan itu begitu jarang lewat, atau mungkin diterlintas di depan mataku namun tak mau berhenti dengan alasan tak mau menaikan penumpang anak sekolah yang ongkosnya tak seberapa. Hingga adzan magrib berkumandang, ku tetap setia berdiri di pinggir jalan dengan wajah kusam penuh kebimbangan yang mengalahkan rasa lelah karna seharian di sekolah.
“Pak, ini aku belum dapat mobil, minta tolong di jemput” sebuah pesan singkat telah ku kirim ke bapak, meski beliau sibuk bekerja namun beliau lah yang selalu menjemputku ketika ku tak mendapatkan tumpangan untuk pulang sekolah dan mengantarku ke sekolah jika ku hampir telat datang ke sekolah.
“Ya, tunggu” jawaban yang begitu singkat ini menemaniku, langit bisu dan mulai terlihat gelap menghiasi hati yang sedang dilanda kebimbangan hingga seorang laki laki datang dengan pandangan yang begitu teduh saat kaca mobil sebelah kiri mulai diturunkan, tatapan itu yang tak pernah terlewatkan dalam setiap hariku, tatapan kesabaran namun penuh ketegasan dan harapan agar aku menjadi anak yang bermanfaat bagi agama, keluarga dan Negara. Laki laki itu adalah Ummar, beliau bapak terbaik di alam semesta ini dalam versiku. Aku tak tau berapa tahun sudah laki laki itu menghabiskan waktu bersama mobil biru ini, namun yang aku tau sampai sekarang mobil ini sering membuatku mual, pusing dan muntah, ya aku masih saja mabuk perjalanan jika menaiki mobil pribadi.
Di mobil itu bibirku mulai kaku, rasanya ini bukan saatnya untuk berdiskusi, tapi jika tak sekarang pasti sesampainya di rumah ku langsung mandi shalat makan sedikit belajar dan tidur, tak ada waktu untuk berbincang. Aku yang biasa mengajukan pertanyaan tak penting hanya untuk membuat suasana tak sepi kini diam tanpa kata, dan kau yang biasanya bertanya tentang kegiatanku di sekolah hanya untuk memberikan perhatian atau memastikan tidak ada masalah, kini hanya focus memandangi jalan dengan tangan tenang mengontrol setir, hingga mataku mulai bosan dan terpejam.
Mata mulai membuka setelah mobil berhenti tepat di depan garasi, dengan kesadaran yang belum kembali penuh ku turun dari mobil dan ku masuki pintu rumah yang selalu membuatku selalu rindu memasukinya.
“assalamu’alaikum” suara yang begitu lemas membuat orang tak ingin mendengarnya, selulurh tubuhku seperti berbicara bahwa aku lelah dan butuh istrirahat
“wa’alaikumsalam, mandi dulu nduk” ibuku menyambutku dengan senyum walau sebenarnya ku tau dia lebih lelah daripadaku, tapi tanggung jawab atas perannya sebagai ibu secara harfiah membuatnya untuk selalu kuat, semangat dan sabar di depan anak anaknya. Meski kesadaranku belum penuh dan padanganku samar samar namun aku melihat tampak jelas kasihsayangnya yang tak pernah dia katakan, tanpa namun semua perilakunya membuktikan, amarahnya, perhatiannya secara tidak langsung sudah menjelaskan bahwa dia sangat menyayangi anak anaknya.
“aku shalat dulu ja bu”
Saat makan malam adalah saat yang paling tepat untuk bercerita tentang keluh kesahku di sekolah, jika yang ku ceritakan suatu kebaikanku mereka hanya diam, bukan berarti mereka acuh tapi mereka mengajarkanku agar aku tak menyombongkan diri atas apa yang ku lakukan. Ketika ku bercerita tentang hal buruk yang terjadi padaku mereka justru menyalahkanku, bukan mereka tak mendukung apa yang ku lakukan tapi mereka mengajarkanku bahwa aku tak boleh menyalahkan orang lain atas hal buruk yang menimpaku. Ketika aku bercerita tentang keluh kesahku mereka justru memarahiku dengan nasihat yang terdengar begitu bijak. Bukan mereka tak peduli padaku tapi mereka tak ingin ku menjadi orang yang tak bersyukur. Terkadang tanpa mendekteku, mereka banyak mengajarkan banyak hal padaku.
“bu, kata guruku bidan dan guru itu sudah banyak, mending cari jurusan lain yang masih langka”
“sudah banyak tapi kan memang yang diperlukan banyak”
“kelasku semuanya dapat undangan  kecuali 3 orang, aku bingung mau daftar jurusan apa habis dibilangin guruku gitu tadi”
“kalau ada ya kebidanan aja, kan kamu tinggal nerusin ibu”
Aku diam sejenak membayangkan aku menjadi bidan seperti ibuku di tempat ini, ya di desaku tercinta, “ya sudah, insyaAllah besok aku tanya guru BK ada info pendaftaran kebidanan ndak”
Kini ku semakin yakin n mantap ingin mendaftarkan diri ke jurusan kebidanan, namun keesokakan harinya
Ku temu guru BK langsung keruangannya, bersama sahabat karibku yang ingin menanyakan info tentang kedokteran hewan
“assalamu’alaikum bu”
“Wa’alaikumsalam, ada apa ini?”
Tatapanku tertuju pada sahabatku, mengharusnya untuk mulai pembicaraan terlebih dahulu
“gini, bu aku mau daftar kedokteran hewan kira kira adanya dimana saja ya?”
“wah bagus itu masih jarang yang mau jadi dokter hewan, coba ja di IPB nak”
Temanku mengangguk angguk, tampak jelas dia begitu mantap dengan pilihannya
“terus pilihan keduanya aku mau agrotecnologi UNILA saja bu”
“Ya sudah ndak apa apa” pandangan guru itu pindah kepadaku, dia menatapku dengan penuh tanya, dan aku belum berani membalas tatapannya untuk beberapa detik. Ku memaksakan bibirku untuk berucap
“bu kalau jurursan kebidanan adanya dimana?”
“ndin ndin, bidan kan sudah sedayak koplak, menjamur dimana mana, coba cari yang lain dulu”
“tapi orangtuaku mengarahkan untuk jadi bidan, aku juga pengen pekerjaan yang bisa menolong oranglain jadi sekalian ibadah bu”
“orantuamu kerjanya apa? Semua pekerjaan jika dilakukan dengan ikhlas semuanya bernilai ibadah, bukan berarti yang dikesehatan dan yang dipendidikan saja yang mendapat pahala”
“bapak kesehatan masyarakat, ibu bidan” jawabanku agak sedikit gagu
“ehmmm pantesan, gini lho din berobat itu pakai sugesti, belum tentu pasien yang sembuh dengan ibumu juga bisa sembuh denganmu. Jadi meneruskan ibumu itu tidak semudah yang dibayangkan. Kalau bisa cari jurusan yang setelah lulus itu bisa langsung kerja, kan memang tujuan utamanya kan segera dapat kerja dan tak merepokan orangtua. Bidang kesehatan itu banyak gak hanya bidan lho, kamu bis jadi analis, apoteker, fisioterapi dan lain lain, kalau memang orangtua pengennya dibidang kesehatan. Coba dipikirkan lagi, tapi semuanya terserah kamu, kamu yang mau menjalani”
“ya bu, nanti saya bicarakan sama orangtua lagi, terimaksih bu” aku dengan temanku saling berpandangan yang mengisyaratkan “ sudah? Ayo balik kekelas” lalu terucap kata “ya sudah ya bu, terimasih, assalamu’alaikum”
“walaikumsalam”
Jika kata katanya tadi membuat temanku tampak yakin, tapi sekarang kata katanya meruntuhkan kemantapanku semalam, aku mulai teobang ambing. Aku pun meninggalkan ruangan itu dengan kebimbangan, kebimbangan yang kembali hadir setelah semalam sempat pergi. Kebimbangan yang selalu datang ketika mendengar argument dari ibu guru BK, bukan berarti beliau salah dan orangtuaku benar. Argument keduany begitu benar, hanya hatiku saja yang pantas dipersalahkan karna dia telah lupa bahwa keputusan terbaik adalah dari Allah dan aku sebagai hambaNya hanya bisa memohon petunjuknya.
Di rumah yang ku lakukan bukan membicarakan apa yang guruku katakana tadi ke orangtuaku, karna ku yakin pasti orangtua punya argument untuk kontra dengan argument guruku, dan aku hanya akan terombang ambing ketika di sekolah ingin cari jurusan lain dan ketika di rumah ingin tetap menggapai citacita sebagi bidan. Waktuku hanya habis menjadi burung merpati yang mengirimkan argument antar orangtua dan guruku. Rasanya ini mempertemukan mereka dalah satu ruangan agar merka langsung berbincang tanpa harus aku jadi pernataranya.
Aku cukup membuka laptop menghubungkan dengan koneksi internet, lalu mulai bertanya pada mbah google “jurusan kesehatan yang langka”. Puluhan pilihan muncul, dan mataku tertuju pada sebuah website intitusi pendidikan kesehatan negri di Jakarta. Dalam profilnya institusi tersebut mamiliki salah satu juran yang sangat begitu asing untuk dibaca, aku tak pernah dengar tentang pekerjaan atau jurusan ini. Setelah itu ku lihat profil jurusannya, lulus pendidikan kemungkinan bisa langsung jadi PNS karna tahun sebelumnya dibutuhkan 10 orang lulusan ini namun hanya 2 orang yang mendaftar otomatis keterima jadi PNS. Jurusan eletromedik ini bekerjanya jadi kayak montir tapi yang disevice bukan mobil melainkan alat alat kesehatan. Hati mulai tertarik karna jelas jurusan kesehatan ini tak berhubungan dengan cairan merah dalam tubuh manusia yaitu darah yang begitu ku takuti.
Ku tutup laptopku dengan semangat ku keluar kamar, ku mulai melihat kekiri kekanan, mecari sesosok wanita yang ku panggil ibu, ternyata beliau masih sibuk dengan pekerjaannya. Hanya kudapati bapakku yang duduk sedang bersantai didepan televise dengan pandangan mata tertuju pada Koran ang ada ditangannya. Ku mencoba mendekat dengan wajah yang berpura pura ingin menonton TV, 5 menit sudah ku berpura pura menonton TV, dank u muali perbincangan
“Pak, aku pengen daftar jurusan eletro medic ya, habis lulus bisa langsung jadi PNS lho pak, soalnya lebih banyak yang dibutuhkan pemerintah daripada jumlah lulusannya”
“itu kerjanya ngapain?” dengan wajah tetap focus pada Koran yang begitu terbuka lebar ditangannya
“kayak benerin alat alat kesehatan di rumah sakit gitu”
“itu kan pekerjaan laki laki” Koran ditangannya diletakan diatas meja, tatapan matanya mulai terfokus padaku “bapak dan ibu kan sudah mengarakan, bapak dan ibu Cuma mau yang terbaik untuk anak anaknya, tapi semua kembali lagi ke kamu”
Tanpa sepatah katapun ku ucap, ku menunduk untuk 30 detik saja setelah bapak selesai mengatakan itu, lalu aku langsung pergi dihadapannya. Bapak pun kembali mengambil korannya
Aku tak mengerti saat itu aku begitu kecewa, apakah orangtuaku seperti yang dikatakan media, orangtua modern yang memaksaakan keinginannya pada anak dan tidak memberikan hak untuk anak memilih. Sejak itu ku memilih untuk bungkam, menyendiri di kamar dan jarang makan di rumah.
Berangkat sekolah aku yang biasanya tak pernah melangkahkan kaki keluar pintu rumah tanpa menjabat tangan kedua orangtua dengan harapan jika ku mendapat restunya maka aku juga mendapat restu Allah. Seketika pergi tanpa sepatah kata pun. Sejak SMP kami dibiasakan dengan jatah uang saku seminggu, dengan tujuan agar kami dapat merencanakan uang tersebut bisa cukup dari hari senin sampai sabtu. Sehingga hari jum’at ketika ku meninggalkan rumah tanpa berpamitan dengan orangtuaku aku masih memiliki uang saku yang telah diberikan pada hari senin.
Kekecewaanku begitu merasuk, akal sehatku mungkin butuh obat agar benar benar sehat, perasaanku begitu beku. Yang ada dibenakku hanya kemarahan kepada kalian. Sepulang sekolah ku kembali menyendiri di kamarku yang memang jauh dari jangkauan orang. Di lantai dua hanya ada kamarku dan kamar saudara laki lakiku, ibu dan bapak jarang ke lantai dua karna itu begitu menguras tenaga, hanya saja kita yang harus turun untuk sekedar kumpul dan bercanda, membicara hal yang terbilang penting namun tak sepenting kebersamaan.
2 hari berlalu dengan kebisuanku, kebekuan suasana rumah, kesendirianku di dalam kamar kecilku. Aku sebenarnya tak tega lakukan ini semua namun hatiku memberontak hingga ibu angkat bicara.
Awalnya ada sms yang masuk, sambil kubayangkan wajah ibuku kubaca pesan singkat itu
“din, kamu kenapa? Makan yuk, nanti sakit. Kamu marah sama ibu?”
Tak tertahankan lagi, air mata sudah membahasahi pipi, HP lepas dari genggaman dan tergeletak di atas kasur, ku menangis tersedu sedu tanpa sanggup membalas pesan singkat itu. Namun ku tak peduli bagaimana perasaan seorang ibu yang di diamkan oelh anaknya beberapa hari. Berkata “ah” saja dilarang oleh Allah, apalagi hingga membuatnya merasa sskit hati karna kebisuanku. Dosa itu sudah tak terpikir karna pikiran kotorku, karna kebingungan yang begitu menusuk otakku.
Pesan singkat tak mampu memecah kebisuanku, ibu pun terus berusaha dengan cara lain agar tembok kekecewaanku yang tak dia mengerti bisa hancur. Terdengar suara ibu memanggilku dari bawah tangga,
“andini, kamu kenapa nduk?”
“gak papa” dengan nada begitu datar, 2 kata singkat yang menyimpan ribuan keluh kesah
Suara langkah kaki mendekati pintu kamarku, suara ketukan yang berasal dari pintu kamarku memaksaku untuk membuka pintu, namun tangan ini tak mampu, masih tetap berpangku.
“din, kamu kenapa? Kok diemin ibu gini? Ibu salah apa?”
Sepatah kata pun tak keluar dari bibirku, hanya air mata yang menetes begitu deras
“buka pintunya din, kamu ini kenapa? Ibu ini ndak tau apa apa kok kamu diem gini?”
Aku sudah tak mampu tetap bertahan berpangku tangan, ku buka pintu kamarku dengan air mata yang membasahi pipiku
Tanpa diisyaratkan kami pun berdua duduk berdekatan dipinggir tempat tidur
“kamu kenapa?” Ibuku menatapku tepat di bola mataku yang kebanjiran air mata
Dengan sangat kaku ku gelangkan kepalaku, dengan tetesan air mata yang semakin deras, “ibu hentikan tatapan yang penuh harapan itu, aku tak sanggup menahan air mata ini jika ka uterus menatapku seperti itu” dalam hatiku bergejolak ribuan kata yang tak bisa terungkap oleh bibir
Seketika menetes pula air dari mata yang teduh dan penuh harapan itu.
“Ibu ini gak tau apa apa tapi kamu diemin gini ya ibu juga bingung. Kalau kamu ndak mau kuliah kebidanan ya bilang, jangan diemin ibu kayak gini. Ibu dan bapak cuma mengarahkan yang terbaik untuk anaknya. Kalau anaknya ndak mau ya sudah”
Tatapan matanya beralih ke arah lantai, ibuku menunduk dan meneteskan air mata
“bukan gitu, aku kasihan lihat ibu capek banget harus bangun tengah malam, mbak mbak sering cerita jadi  bidan itu susah cari kerjanya. Kemarin aku cerita sama bapak, bapak ndak terlalu nanggepin”
Kembali menatapku dan berdiri dihadapanku
“ din ibu itu ngelakuin itu semua ikhlas, kalau ikhlas itu ndak akan terasa capek. Rezeki itu sudah ada yang ngatur jangan khawatir. Ibu sudah susah payah buka praktek, kalau kamu ndak mau jadi bidan terus ibu sudah pension, yang nerusin ibu siapa?” dengan nada lirik dan tetesan air mata yang membasahi pipinya
Air mata semakin tak bisa dibendung, ku peluk erat tubuh ibuku “ya bu aku mau jadi bidan, aku saying sama ibu”
Hampir 17 tahun sudah aku hidup bersama ibuku tapi baru kali ini aku katakana aku saying padanya. Kata itu selalu terkunci dengan gembok yang diberi nama gengsi.
Rasanya aku seperti orang bodoh, bisa bisanya ku marah kepada kedua orangtuaku, mendiamkannya tanpa mereka tau alasannya ku diam. Ini bukan kali pertamanya bebrapa kali ku lakukan ini, dan ku selalu menyesal setelahnya. Aku hanya anak kecil dimata meraka, ku tak pernah bisa dewasa dihadapan mereka, orang yang paling ku sayangi.
Aku harusnya bersyukur, mereka mendukungku untuk kuliah, mungkin jika ku lahir bukan dari rahim ibuku dimasa islam sudah diakui sebagai agama yang benar mungkin aku sudah dikubur hidup hidup
Sesuai dengan yang diriwayatkan dulu pada zaman jahiliyah memiliki anak laki laki adalah suatu kemuliaan dan memiliki anak perempuan sebaliknya, itu aib keluarga. Sehingga pada kaum….. banyak terjadi bayi perempuan baru lahir langsung di kubur.
Sedang aku saat ini, walaupun aku terlahir dengan jenis kelamin perempuan, ibu dan bapak memperlakukanku sama spesialnya seperti kedua saudara laki lakiku, meski mungkin aku tak terlahir secerdas mereka. Mereka yang sejak SD sering mendapatkan peringkat pertama, sedangkan aku tak pernah masuk ranking 3 besar. Tapi orangtua mengizinkanku dan memberikan segala fasilitas yang mendukung sekolahku. Doa yang sering ku ucap saat kekhuyukanku mulai terbentuk “Ya Allah, izinkanku membuat orangtuaku bangga memiliki anak sepertiku, meski ku tak sepandai kedua saudaraku” do’a ini yang membuat pipiku basah karna air mata. Orangtua ku akan lebih bahagia dibanding diriku ketika aku mendapat kesuksesan. Sukses di sini bukan berarti memiliki penghasilan bermiliran, menjadi mahasiswa lulusan terbaik, cukup menjadi orang sesuai harapan. Aku pun pernah membuat status pada media sosial “aku ingin membuat ibu dan bapak bangga”, kementar dari bapakku cukup membuatku meneteskan air mata kebagiaan “menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orangtua saja sudah cukup membanggakan bapak sama ibu”
Suasana rumah kembali netral, semua kegiatan berjalan seperti biasa, namun dengan harapan dan keyakinan yang berbeda.
Ku temui guru BP penuh dengan kemantapan, ku yakin kali ini aku tak akan memikirkan pendapatnya.
Aku ingin lulus kuliah langsung kerja jadi ndak merepotkan orangtua, aku tanyalah ke mbah google, katanya ada jurusan yang hampir setiap tahun dibutuhkan Negara yaitu tehnik eletromedik dan itu hanya ada di poltekkes Jakarta, mungkin karna aku sedikit tomboy aku ingin sekali masuk di jurusan itu. Tapi tanpa kata orangtua menanggapiku, ini mungkin hanya miss komunikasi. Beberapa hari egoku memuncak, ku kecewa marah kepada orangtuaku yang menurutku sekarang mereka tak salah. Setelah tiga hari ku marah kepada mereka, ibuku mengetuk pintu kamarku, namun aku tetap bersih kukuh tak ingin membukakan pintu, aku merasa orangtuaku terlalu memdbatasiku, suara keras ibuku menjadi lirih, aku tak sanggup mendengarnya. Ku buka pintu kamarku dengan wajah penuh dengan air mata, pembicaraan dimulai, dengan intonasi yang lembut beliau menasehatiku, kenapa engkau anakku marah kepada kami? Apakah engkau tau Ibu khawatir? Ibu dan bapak tak memaksamu untuk jadi bidan tapi jika ibu tua nanti dan pensiun apakah tempat praktek ini akan tutup begitu saja, Allah telah mengatur rezeki kita” Suara lembutnya berbaur dengan tetesan air mata, membuatku langsung menangis di atas pangkuannya, ku peluk dia yang duduk di kasurku. “ibu, maafkan aku, aku hanya kasihan melihat ibu sering bangun malam, ya aku mau jadi bidan, aku sayang ibu”.
“jika andini ikhlas maka semuanya kan terasa ringan” Suara lembut itu yang jarang terdengar kembali menenangkanku, menahan segala amarahku sebelumnya, menyatukan reruntuhan harapan yang telah hancur berkeping keping. Dalam hatiku ku mulai susun tekat terkuat “aku akan jadi bidan lebih dari ibu, minimal seperti ibu. Aku akan mengeringkan air mata ibu dan mengubahnya dengan senyum bangga melihatku berjuang membantu melahirkan bayi ke dunia dengan ikhlas seperti yang ibu lakukan sampai saat ini”
Suasana kembali seperti biasanya, canda gurau mulai ramai menghiasi setiap sudut ruang rumah kita. Rasanya tak pernah terjadi perangdingin, badai berlalu begitu saja, air mata kesedihan telah kering berganti senyum dan tawa yang terlukis pada bibir setiap anggota keluarga kami. Sudah tak ada kebimbangan yang bersarang pada diri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar