Ujian
Nasional belum juga dimulai, namun para murid sudah harus menentukan pilihan
universitas dan jurusan yang ingin dituju setelah lulus SMA. Menurut mitos yang
beredar memilih pekerjaan dan jodoh adalah pilihan yang tersulit dalam hidup
ini, karna kedua hal ini akan dijalani sepanjang sisa hidup kita, jika salah
dalam memilih maka sisa hidupmu tak akan bahagia bahkan jiwa akan memberontak
untuk bisa keluar dari pilihan itu lalu move on kepilihan baru hingga didapat
arti sebuah kenyamanan. Buah yang saat ini kita petik merupakan hasil dari
benih yang kita pilih sebelum menanamnya, karna hasil tak akan pernah
mengkhiyanati sebuah pilihan. Pilihan untuk diam saja, berjalan ke kanan atau
ke kiri, atau berlari lalu berhenti, semua itu akan berakhir pada sebuah tujuan
sesuai keinginan ataupun tidak.
Terdengar
suara sepatu pantofel mendekati ruang kelas kami yang saat itu sedang ramai
atau mungkin memang selalu tak pernah sepi dengan semua gumaman 20 anak manusia
yang terlahir terisolir dari dunia luar. Ya karena letak kelas kami yang diapit
oleh lobi dan ruang TU serta jauh dari jangkauan kelas lain membuat kita terisolir
dan memilih makan, shalat, tidur nonton TV, main PS, mengerjakan PR (ups ini PR
yang baru saja di kasih ya) di ruangan kelas ini saat istirahat.
Seorang
ibu cantik nan berwibawa, Bu Aisyah namanya, salah satu guru bimbingan
konseling di sekolah kami, menebarkan senyum menawan sebelum masuk kelas, lalu
duduk tepat di kursi guru.
“Assalamua”alaikum,
selamat pagi”
“Walaikumsalam
warohmatulallhi wabarokatu”
“ini
ada pengumuman tentang SNMPTN undangan, setelah dilihat dari nilai rapot alhamdulillah
kelas ini, semua medapatkan kesempatan untuk mendaftar SNMPTN undangan kecuali
Rizal, Deni, dan Gusta. Maaf ya nak, jangan berkecil hati, kalian bertiga bisa
daftar diploma yang tanpa test. Silahkan dipikirkan mau daftar mana”
Satu
diantara 20 murid di kelas, yaitu aku menganggat tangan dengan wajah penuh
tanya
“Kalau
daftar kebidanan bisa tidak bu?”
“Kalau
bisa jangan bidan atau guru ya, itu sudah sendayak koplak (terlalu banyak),
sekarang itu cari jurusan yang langka agar peluang kerjanya lebih besar.
Soalnya banyak sarjana yang sekarang bergelar pengangguran. Nanti coba
dipikirkan lagi ya nak, kalau bisa jangan bidan ya”
Ku
hanya bisa membisu, mengangguk tanda ku tak mengerti namun agar telihat
menghormati. Keyakinan dan impianku tiba tiba runtuh. Harapan orangtuaku
terkikis. Butir butir angan menjadi seorang bidan rasanya sudah terbawa angin
kebimbangan, perkataan Bu Aisyah tak bisa dipungkiri kebenarannya. Bidan di
Indonesia sudah menjamur kecuali di wilayah pelosok yang masih kental dengan
budaya, mitos dan bau bau mistis.
Sebelum
ini, memang ku pernah diterpa kebimbangan yang sama seoerti ini. Ibuku adalah seorang
bidan, ku sangat mengaguminya meski ku tak pernah tau apa saja yang dia lakukan
sebagai seorang bidan, namun hampir semua orang di dusunku Way Kekah dan dusun
sekitarnya begitu menghormatinya. Dia adalah tenaga kesehatan yang pertama kali
membuka praktek dan meningkatkan derajat kesehatan di dusun way kekah ini. Ku
tau tentang sulitnnya perjuangannya dulu hanya lewat cerita orang orang yang
ikut menyaksikan ibuku disepelekan dan tak dipercaya sebagai seorang tenaga
kesehatan karna postur tubuhnya dan wajah yang masih terlihat belia, dimarahi
orang pribumi asli lampung yang berwatak keras karna anaknya demam setelah diimuniasi,
dan cerita pilu lainnya. Namun ibu membisu tentang itu semua, di depanku tak
pernah sepatah keluhan keluar dari bibir manisnya. Oleh sebab itu ku cita-citaku
dari kecil ingin menjadi seperti ibuku yaitu menjadi seorang bidan. Meski sedari
kecil aku begitu takut dengan hal-hal yang berbau rumah sakit. Ketika umurku
masih 2 tahun, umur dimana aku tak bisa mengingat kejadian apapun yang ku alami
saat itu, tapi aku hanya mendengar cerita dari orang lain tentang aku dan
keluargaku yang liburan bersama staf-staf puskesmas ke suatu danau yang tampak
begitu indah (di album kenangan bapakku), danau ranau namanya. Di sana kita
bermalam di sebuah penginapan yang memiliki kamar bersih dengan kasur serta
nuansa kamar berwarna putih, menurut cerita ibuku di sana aku menangis dan tak
mau tidur di kamar dengan berdalih bahwa kamarnya seperti kamar rawat inap di
rumah sakit. Akhirnya ibuku rela menemaniku dan mendekapku saatku terlelap
tidur di luar kamar dengan beralaskan tikar dan ditemani puluhan nyamuk yang
haus akan darah.
Belum
lagi aku dari kecil begitu takut dengan luka yang berdarah meski luka tak
terasa bergitu sakit jika ku melihat ada darah, ku akan menangis histeris saat
kecil seperti seorang anak yang hilang ditengah taman hiburan yang begitu ramai
orang berdesak desakan layaknya antri sembako. Hingga ku dewasa seperti saat
ini aku cukup sedikit pusing jika melihat darah dari lukaku ataupun luka
oranglain.
Semua
itu lantas tak menyurutkanku untuk menjadi seorang bidan seperti ibuku. Hingga
aku pun duduk dibangku SMA, aku bisa melihat dan merasakan sebagian
keletihannya saat ibuku harus bangun malam untuk berjuang bersama seseorang ibu
yang rela menolak tawaran masuk surga jika dia meninggal dalam kondisi berjihad
(melahirkan), demi sebuah hidup yang merepotkan untuk mendidik dan merawat
anaknya. Pekerjaan ibuku tak kenal waktu, karna bayi lahir pun tak mengenal
waktu lelah atau tidak, waktu malam ataupun siang. Saat kita sekeluarga pergi
bersama, handphone ibuku sering bergetar yang terkadang memaksa kami untuk
pulang meski itu tanggal merah maupun hari raya. Badai kembimbangan semakin
kencang ketika bidan bidan yang sislih berganti ikut membantu ibuku mengeluh
sulitnya mencari pekerjaan, lelahnya menjadi bidan, bahkan tak sedikit dari
mereka menyesal menjadi bidan. Kini harapan itu semakin runtuh diterpa argument
dari bu Aisyah, perkataannya sangat mempengaruhi pola pikirku sebagai seorang
murid yang selalu setuju hampir seluruh pendapat gurunya. Telingaku serasa
tertutup oleh kebimbangan, aku tak bisa mendengar dan menyimak pertanyaan yang
di ajukan teman lainnya serta jawaban dari guru Bimbingan konseling itu.
“Sudah
tak ada pertanyaan lagi, ibu tutup. Wasssalamua”alaikum”
“wa’alaikumsalam
warohmatullahi wabarokatu, terimaksih bu guru”
Kalimat
terimasih selalu kami diucapkan secara kompak setelah seseorang atau sekelompok
orang berdiri didepan kelas kami untuk mengajar atau hanya sekedar memberikan
informasi. Ini sudah menjadi tradisi di kelas akselerasi, konon ini inisiatif
dari kakak kelas yang sampai sekarang aku tidak tau angkatan berapa yang
memiliki inisiatif itu.
Sepatu
pantofel itu mulai melangkah keluar ruangan bersamaan dengan itu bibir 19 murid
kelasku membuka dan mulai berbincang, entah apa yang mereka bicarakan, sedang aku
tetap membisu, wajahku seperti berpikir tetang suatu hal sedang pikiranku
kosong. Ingin cepat menginjakan kaki di rumah untuk mendapatkan pendapat ibu
dan bapak. Tanpa ridhonya aku tak akan mendapat ridho Allah, dengan murkanya
aku juga mendapat murka Allah. Coba ku hapus kebimbanganku dan mulai
bercengkrama dengan teman lain yang sudah terlihat mantap dengan pilihannya
masing masing.
Jam
dinding yang menempel di dinding kelas bagian belakang menunjukan waktu pukul
16.45 WIB, itu berarti waktu dimana para siswa diminta untuk belajar di rumah.
Seperti biasa aku dengan beberapa teman yang rumahnya berjarak lumayan jauh
harus melaksanakan shalat azhar dulu sebelum berniat untuk pulang karna
terkadang ketika adzan magrib dikumandangkan kita masih diperjalanan atau
bahkan kita masih setia berdiri di perempatan jalan menunggu angkutan sesuai
tujuan kita masing masing. Seselesainya shalat semua mengambil posisi masing masing
sesuai tujuannya, seorang pulang dengan tujuan wates, dua orang pulang dengan
tujuan unit 2, dan aku dengan tujuan yang tak sejauh mereka, menempuh perjalnan
hingga 1 jam bahkan lebih, sedang aku cukup butuh waktu 15 menit jika lanacar
untuk sampai kerumah namun mobil atau angkutan dengan tujuan itu begitu jarang
lewat, atau mungkin diterlintas di depan mataku namun tak mau berhenti dengan
alasan tak mau menaikan penumpang anak sekolah yang ongkosnya tak seberapa.
Hingga adzan magrib berkumandang, ku tetap setia berdiri di pinggir jalan
dengan wajah kusam penuh kebimbangan yang mengalahkan rasa lelah karna seharian
di sekolah.
“Pak,
ini aku belum dapat mobil, minta tolong di jemput” sebuah pesan singkat telah
ku kirim ke bapak, meski beliau sibuk bekerja namun beliau lah yang selalu
menjemputku ketika ku tak mendapatkan tumpangan untuk pulang sekolah dan
mengantarku ke sekolah jika ku hampir telat datang ke sekolah.
“Ya,
tunggu” jawaban yang begitu singkat ini menemaniku, langit bisu dan mulai
terlihat gelap menghiasi hati yang sedang dilanda kebimbangan hingga seorang
laki laki datang dengan pandangan yang begitu teduh saat kaca mobil sebelah
kiri mulai diturunkan, tatapan itu yang tak pernah terlewatkan dalam setiap
hariku, tatapan kesabaran namun penuh ketegasan dan harapan agar aku menjadi
anak yang bermanfaat bagi agama, keluarga dan Negara. Laki laki itu adalah
Ummar, beliau bapak terbaik di alam semesta ini dalam versiku. Aku tak tau
berapa tahun sudah laki laki itu menghabiskan waktu bersama mobil biru ini,
namun yang aku tau sampai sekarang mobil ini sering membuatku mual, pusing dan
muntah, ya aku masih saja mabuk perjalanan jika menaiki mobil pribadi.
Di
mobil itu bibirku mulai kaku, rasanya ini bukan saatnya untuk berdiskusi, tapi
jika tak sekarang pasti sesampainya di rumah ku langsung mandi shalat makan
sedikit belajar dan tidur, tak ada waktu untuk berbincang. Aku yang biasa
mengajukan pertanyaan tak penting hanya untuk membuat suasana tak sepi kini
diam tanpa kata, dan kau yang biasanya bertanya tentang kegiatanku di sekolah
hanya untuk memberikan perhatian atau memastikan tidak ada masalah, kini hanya
focus memandangi jalan dengan tangan tenang mengontrol setir, hingga mataku
mulai bosan dan terpejam.
Mata
mulai membuka setelah mobil berhenti tepat di depan garasi, dengan kesadaran
yang belum kembali penuh ku turun dari mobil dan ku masuki pintu rumah yang
selalu membuatku selalu rindu memasukinya.
“assalamu’alaikum”
suara yang begitu lemas membuat orang tak ingin mendengarnya, selulurh tubuhku
seperti berbicara bahwa aku lelah dan butuh istrirahat
“wa’alaikumsalam,
mandi dulu nduk” ibuku menyambutku dengan senyum walau sebenarnya ku tau dia
lebih lelah daripadaku, tapi tanggung jawab atas perannya sebagai ibu secara
harfiah membuatnya untuk selalu kuat, semangat dan sabar di depan anak anaknya.
Meski kesadaranku belum penuh dan padanganku samar samar namun aku melihat
tampak jelas kasihsayangnya yang tak pernah dia katakan, tanpa namun semua
perilakunya membuktikan, amarahnya, perhatiannya secara tidak langsung sudah
menjelaskan bahwa dia sangat menyayangi anak anaknya.
“aku
shalat dulu ja bu”
Saat
makan malam adalah saat yang paling tepat untuk bercerita tentang keluh kesahku
di sekolah, jika yang ku ceritakan suatu kebaikanku mereka hanya diam, bukan
berarti mereka acuh tapi mereka mengajarkanku agar aku tak menyombongkan diri
atas apa yang ku lakukan. Ketika ku bercerita tentang hal buruk yang terjadi
padaku mereka justru menyalahkanku, bukan mereka tak mendukung apa yang ku
lakukan tapi mereka mengajarkanku bahwa aku tak boleh menyalahkan orang lain
atas hal buruk yang menimpaku. Ketika aku bercerita tentang keluh kesahku
mereka justru memarahiku dengan nasihat yang terdengar begitu bijak. Bukan
mereka tak peduli padaku tapi mereka tak ingin ku menjadi orang yang tak
bersyukur. Terkadang tanpa mendekteku, mereka banyak mengajarkan banyak hal
padaku.
“bu,
kata guruku bidan dan guru itu sudah banyak, mending cari jurusan lain yang
masih langka”
“sudah
banyak tapi kan memang yang diperlukan banyak”
“kelasku
semuanya dapat undangan kecuali 3 orang,
aku bingung mau daftar jurusan apa habis dibilangin guruku gitu tadi”
“kalau
ada ya kebidanan aja, kan kamu tinggal nerusin ibu”
Aku
diam sejenak membayangkan aku menjadi bidan seperti ibuku di tempat ini, ya di
desaku tercinta, “ya sudah, insyaAllah besok aku tanya guru BK ada info
pendaftaran kebidanan ndak”
Kini
ku semakin yakin n mantap ingin mendaftarkan diri ke jurusan kebidanan, namun
keesokakan harinya
Ku
temu guru BK langsung keruangannya, bersama sahabat karibku yang ingin
menanyakan info tentang kedokteran hewan
“assalamu’alaikum
bu”
“Wa’alaikumsalam,
ada apa ini?”
Tatapanku
tertuju pada sahabatku, mengharusnya untuk mulai pembicaraan terlebih dahulu
“gini,
bu aku mau daftar kedokteran hewan kira kira adanya dimana saja ya?”
“wah
bagus itu masih jarang yang mau jadi dokter hewan, coba ja di IPB nak”
Temanku
mengangguk angguk, tampak jelas dia begitu mantap dengan pilihannya
“terus
pilihan keduanya aku mau agrotecnologi UNILA saja bu”
“Ya
sudah ndak apa apa” pandangan guru itu pindah kepadaku, dia menatapku dengan
penuh tanya, dan aku belum berani membalas tatapannya untuk beberapa detik. Ku
memaksakan bibirku untuk berucap
“bu
kalau jurursan kebidanan adanya dimana?”
“ndin
ndin, bidan kan sudah sedayak koplak, menjamur dimana mana, coba cari yang lain
dulu”
“tapi
orangtuaku mengarahkan untuk jadi bidan, aku juga pengen pekerjaan yang bisa
menolong oranglain jadi sekalian ibadah bu”
“orantuamu
kerjanya apa? Semua pekerjaan jika dilakukan dengan ikhlas semuanya bernilai
ibadah, bukan berarti yang dikesehatan dan yang dipendidikan saja yang mendapat
pahala”
“bapak
kesehatan masyarakat, ibu bidan” jawabanku agak sedikit gagu
“ehmmm
pantesan, gini lho din berobat itu pakai sugesti, belum tentu pasien yang
sembuh dengan ibumu juga bisa sembuh denganmu. Jadi meneruskan ibumu itu tidak
semudah yang dibayangkan. Kalau bisa cari jurusan yang setelah lulus itu bisa
langsung kerja, kan memang tujuan utamanya kan segera dapat kerja dan tak
merepokan orangtua. Bidang kesehatan itu banyak gak hanya bidan lho, kamu bis
jadi analis, apoteker, fisioterapi dan lain lain, kalau memang orangtua
pengennya dibidang kesehatan. Coba dipikirkan lagi, tapi semuanya terserah
kamu, kamu yang mau menjalani”
“ya
bu, nanti saya bicarakan sama orangtua lagi, terimaksih bu” aku dengan temanku
saling berpandangan yang mengisyaratkan “ sudah? Ayo balik kekelas” lalu
terucap kata “ya sudah ya bu, terimasih, assalamu’alaikum”
“walaikumsalam”
Jika
kata katanya tadi membuat temanku tampak yakin, tapi sekarang kata katanya
meruntuhkan kemantapanku semalam, aku mulai teobang ambing. Aku pun meninggalkan
ruangan itu dengan kebimbangan, kebimbangan yang kembali hadir setelah semalam
sempat pergi. Kebimbangan yang selalu datang ketika mendengar argument dari ibu
guru BK, bukan berarti beliau salah dan orangtuaku benar. Argument keduany
begitu benar, hanya hatiku saja yang pantas dipersalahkan karna dia telah lupa
bahwa keputusan terbaik adalah dari Allah dan aku sebagai hambaNya hanya bisa
memohon petunjuknya.
Di
rumah yang ku lakukan bukan membicarakan apa yang guruku katakana tadi ke
orangtuaku, karna ku yakin pasti orangtua punya argument untuk kontra dengan
argument guruku, dan aku hanya akan terombang ambing ketika di sekolah ingin cari
jurusan lain dan ketika di rumah ingin tetap menggapai citacita sebagi bidan.
Waktuku hanya habis menjadi burung merpati yang mengirimkan argument antar
orangtua dan guruku. Rasanya ini mempertemukan mereka dalah satu ruangan agar
merka langsung berbincang tanpa harus aku jadi pernataranya.
Aku
cukup membuka laptop menghubungkan dengan koneksi internet, lalu mulai bertanya
pada mbah google “jurusan kesehatan yang langka”. Puluhan pilihan muncul, dan
mataku tertuju pada sebuah website intitusi pendidikan kesehatan negri di
Jakarta. Dalam profilnya institusi tersebut mamiliki salah satu juran yang
sangat begitu asing untuk dibaca, aku tak pernah dengar tentang pekerjaan atau
jurusan ini. Setelah itu ku lihat profil jurusannya, lulus pendidikan
kemungkinan bisa langsung jadi PNS karna tahun sebelumnya dibutuhkan 10 orang
lulusan ini namun hanya 2 orang yang mendaftar otomatis keterima jadi PNS.
Jurusan eletromedik ini bekerjanya jadi kayak montir tapi yang disevice bukan
mobil melainkan alat alat kesehatan. Hati mulai tertarik karna jelas jurusan
kesehatan ini tak berhubungan dengan cairan merah dalam tubuh manusia yaitu
darah yang begitu ku takuti.
Ku
tutup laptopku dengan semangat ku keluar kamar, ku mulai melihat kekiri
kekanan, mecari sesosok wanita yang ku panggil ibu, ternyata beliau masih sibuk
dengan pekerjaannya. Hanya kudapati bapakku yang duduk sedang bersantai didepan
televise dengan pandangan mata tertuju pada Koran ang ada ditangannya. Ku
mencoba mendekat dengan wajah yang berpura pura ingin menonton TV, 5 menit
sudah ku berpura pura menonton TV, dank u muali perbincangan
“Pak,
aku pengen daftar jurusan eletro medic ya, habis lulus bisa langsung jadi PNS
lho pak, soalnya lebih banyak yang dibutuhkan pemerintah daripada jumlah
lulusannya”
“itu
kerjanya ngapain?” dengan wajah tetap focus pada Koran yang begitu terbuka
lebar ditangannya
“kayak
benerin alat alat kesehatan di rumah sakit gitu”
“itu
kan pekerjaan laki laki” Koran ditangannya diletakan diatas meja, tatapan
matanya mulai terfokus padaku “bapak dan ibu kan sudah mengarakan, bapak dan
ibu Cuma mau yang terbaik untuk anak anaknya, tapi semua kembali lagi ke kamu”
Tanpa
sepatah katapun ku ucap, ku menunduk untuk 30 detik saja setelah bapak selesai
mengatakan itu, lalu aku langsung pergi dihadapannya. Bapak pun kembali
mengambil korannya
Aku
tak mengerti saat itu aku begitu kecewa, apakah orangtuaku seperti yang
dikatakan media, orangtua modern yang memaksaakan keinginannya pada anak dan
tidak memberikan hak untuk anak memilih. Sejak itu ku memilih untuk bungkam,
menyendiri di kamar dan jarang makan di rumah.
Berangkat
sekolah aku yang biasanya tak pernah melangkahkan kaki keluar pintu rumah tanpa
menjabat tangan kedua orangtua dengan harapan jika ku mendapat restunya maka
aku juga mendapat restu Allah. Seketika pergi tanpa sepatah kata pun. Sejak SMP
kami dibiasakan dengan jatah uang saku seminggu, dengan tujuan agar kami dapat
merencanakan uang tersebut bisa cukup dari hari senin sampai sabtu. Sehingga
hari jum’at ketika ku meninggalkan rumah tanpa berpamitan dengan orangtuaku aku
masih memiliki uang saku yang telah diberikan pada hari senin.
Kekecewaanku
begitu merasuk, akal sehatku mungkin butuh obat agar benar benar sehat,
perasaanku begitu beku. Yang ada dibenakku hanya kemarahan kepada kalian.
Sepulang sekolah ku kembali menyendiri di kamarku yang memang jauh dari
jangkauan orang. Di lantai dua hanya ada kamarku dan kamar saudara laki lakiku,
ibu dan bapak jarang ke lantai dua karna itu begitu menguras tenaga, hanya saja
kita yang harus turun untuk sekedar kumpul dan bercanda, membicara hal yang
terbilang penting namun tak sepenting kebersamaan.
2
hari berlalu dengan kebisuanku, kebekuan suasana rumah, kesendirianku di dalam
kamar kecilku. Aku sebenarnya tak tega lakukan ini semua namun hatiku
memberontak hingga ibu angkat bicara.
Awalnya
ada sms yang masuk, sambil kubayangkan wajah ibuku kubaca pesan singkat itu
“din,
kamu kenapa? Makan yuk, nanti sakit. Kamu marah sama ibu?”
Tak
tertahankan lagi, air mata sudah membahasahi pipi, HP lepas dari genggaman dan
tergeletak di atas kasur, ku menangis tersedu sedu tanpa sanggup membalas pesan
singkat itu. Namun ku tak peduli bagaimana perasaan seorang ibu yang di diamkan
oelh anaknya beberapa hari. Berkata “ah” saja dilarang oleh Allah, apalagi hingga
membuatnya merasa sskit hati karna kebisuanku. Dosa itu sudah tak terpikir
karna pikiran kotorku, karna kebingungan yang begitu menusuk otakku.
Pesan
singkat tak mampu memecah kebisuanku, ibu pun terus berusaha dengan cara lain
agar tembok kekecewaanku yang tak dia mengerti bisa hancur. Terdengar suara ibu
memanggilku dari bawah tangga,
“andini,
kamu kenapa nduk?”
“gak
papa” dengan nada begitu datar, 2 kata singkat yang menyimpan ribuan keluh
kesah
Suara
langkah kaki mendekati pintu kamarku, suara ketukan yang berasal dari pintu
kamarku memaksaku untuk membuka pintu, namun tangan ini tak mampu, masih tetap
berpangku.
“din,
kamu kenapa? Kok diemin ibu gini? Ibu salah apa?”
Sepatah
kata pun tak keluar dari bibirku, hanya air mata yang menetes begitu deras
“buka
pintunya din, kamu ini kenapa? Ibu ini ndak tau apa apa kok kamu diem gini?”
Aku
sudah tak mampu tetap bertahan berpangku tangan, ku buka pintu kamarku dengan
air mata yang membasahi pipiku
Tanpa
diisyaratkan kami pun berdua duduk berdekatan dipinggir tempat tidur
“kamu
kenapa?” Ibuku menatapku tepat di bola mataku yang kebanjiran air mata
Dengan
sangat kaku ku gelangkan kepalaku, dengan tetesan air mata yang semakin deras,
“ibu hentikan tatapan yang penuh harapan itu, aku tak sanggup menahan air mata
ini jika ka uterus menatapku seperti itu” dalam hatiku bergejolak ribuan kata
yang tak bisa terungkap oleh bibir
Seketika
menetes pula air dari mata yang teduh dan penuh harapan itu.
“Ibu
ini gak tau apa apa tapi kamu diemin gini ya ibu juga bingung. Kalau kamu ndak
mau kuliah kebidanan ya bilang, jangan diemin ibu kayak gini. Ibu dan bapak
cuma mengarahkan yang terbaik untuk anaknya. Kalau anaknya ndak mau ya sudah”
Tatapan
matanya beralih ke arah lantai, ibuku menunduk dan meneteskan air mata
“bukan
gitu, aku kasihan lihat ibu capek banget harus bangun tengah malam, mbak mbak
sering cerita jadi bidan itu susah cari
kerjanya. Kemarin aku cerita sama bapak, bapak ndak terlalu nanggepin”
Kembali
menatapku dan berdiri dihadapanku
“
din ibu itu ngelakuin itu semua ikhlas, kalau ikhlas itu ndak akan terasa
capek. Rezeki itu sudah ada yang ngatur jangan khawatir. Ibu sudah susah payah
buka praktek, kalau kamu ndak mau jadi bidan terus ibu sudah pension, yang
nerusin ibu siapa?” dengan nada lirik dan tetesan air mata yang membasahi
pipinya
Air
mata semakin tak bisa dibendung, ku peluk erat tubuh ibuku “ya bu aku mau jadi
bidan, aku saying sama ibu”
Hampir
17 tahun sudah aku hidup bersama ibuku tapi baru kali ini aku katakana aku
saying padanya. Kata itu selalu terkunci dengan gembok yang diberi nama gengsi.
Rasanya
aku seperti orang bodoh, bisa bisanya ku marah kepada kedua orangtuaku,
mendiamkannya tanpa mereka tau alasannya ku diam. Ini bukan kali pertamanya
bebrapa kali ku lakukan ini, dan ku selalu menyesal setelahnya. Aku hanya anak
kecil dimata meraka, ku tak pernah bisa dewasa dihadapan mereka, orang yang
paling ku sayangi.
Aku
harusnya bersyukur, mereka mendukungku untuk kuliah, mungkin jika ku lahir
bukan dari rahim ibuku dimasa islam sudah diakui sebagai agama yang benar
mungkin aku sudah dikubur hidup hidup
Sesuai
dengan yang diriwayatkan dulu pada zaman jahiliyah memiliki anak laki laki
adalah suatu kemuliaan dan memiliki anak perempuan sebaliknya, itu aib
keluarga. Sehingga pada kaum….. banyak terjadi bayi perempuan baru lahir
langsung di kubur.
Sedang
aku saat ini, walaupun aku terlahir dengan jenis kelamin perempuan, ibu dan
bapak memperlakukanku sama spesialnya seperti kedua saudara laki lakiku, meski
mungkin aku tak terlahir secerdas mereka. Mereka yang sejak SD sering
mendapatkan peringkat pertama, sedangkan aku tak pernah masuk ranking 3 besar.
Tapi orangtua mengizinkanku dan memberikan segala fasilitas yang mendukung
sekolahku. Doa yang sering ku ucap saat kekhuyukanku mulai terbentuk “Ya Allah,
izinkanku membuat orangtuaku bangga memiliki anak sepertiku, meski ku tak
sepandai kedua saudaraku” do’a ini yang membuat pipiku basah karna air mata.
Orangtua ku akan lebih bahagia dibanding diriku ketika aku mendapat kesuksesan.
Sukses di sini bukan berarti memiliki penghasilan bermiliran, menjadi mahasiswa
lulusan terbaik, cukup menjadi orang sesuai harapan. Aku pun pernah membuat
status pada media sosial “aku ingin membuat ibu dan bapak bangga”, kementar
dari bapakku cukup membuatku meneteskan air mata kebagiaan “menjadi anak yang
sholeh dan berbakti kepada orangtua saja sudah cukup membanggakan bapak sama
ibu”
Suasana
rumah kembali netral, semua kegiatan berjalan seperti biasa, namun dengan
harapan dan keyakinan yang berbeda.
Ku
temui guru BP penuh dengan kemantapan, ku yakin kali ini aku tak akan
memikirkan pendapatnya.
Aku
ingin lulus kuliah langsung kerja jadi ndak merepotkan orangtua, aku tanyalah
ke mbah google, katanya ada jurusan yang hampir setiap tahun dibutuhkan Negara
yaitu tehnik eletromedik dan itu hanya ada di poltekkes Jakarta, mungkin karna
aku sedikit tomboy aku ingin sekali masuk di jurusan itu. Tapi tanpa kata
orangtua menanggapiku, ini mungkin hanya miss komunikasi. Beberapa hari egoku
memuncak, ku kecewa marah kepada orangtuaku yang menurutku sekarang mereka tak
salah. Setelah tiga hari ku marah kepada mereka, ibuku mengetuk pintu kamarku,
namun aku tetap bersih kukuh tak ingin membukakan pintu, aku merasa orangtuaku
terlalu memdbatasiku, suara keras ibuku menjadi lirih, aku tak sanggup mendengarnya.
Ku buka pintu kamarku dengan wajah penuh dengan air mata, pembicaraan dimulai,
dengan intonasi yang lembut beliau menasehatiku, kenapa engkau anakku marah
kepada kami? Apakah engkau tau Ibu khawatir? Ibu dan bapak tak memaksamu untuk
jadi bidan tapi jika ibu tua nanti dan pensiun apakah tempat praktek ini akan
tutup begitu saja, Allah telah mengatur rezeki kita” Suara lembutnya berbaur
dengan tetesan air mata, membuatku langsung menangis di atas pangkuannya, ku
peluk dia yang duduk di kasurku. “ibu, maafkan aku, aku hanya kasihan melihat
ibu sering bangun malam, ya aku mau jadi bidan, aku sayang ibu”.
“jika
andini ikhlas maka semuanya kan terasa ringan” Suara lembut itu yang jarang
terdengar kembali menenangkanku, menahan segala amarahku sebelumnya, menyatukan
reruntuhan harapan yang telah hancur berkeping keping. Dalam hatiku ku mulai
susun tekat terkuat “aku akan jadi bidan lebih dari ibu, minimal seperti ibu.
Aku akan mengeringkan air mata ibu dan mengubahnya dengan senyum bangga
melihatku berjuang membantu melahirkan bayi ke dunia dengan ikhlas seperti yang
ibu lakukan sampai saat ini”
Suasana
kembali seperti biasanya, canda gurau mulai ramai menghiasi setiap sudut ruang
rumah kita. Rasanya tak pernah terjadi perangdingin, badai berlalu begitu saja,
air mata kesedihan telah kering berganti senyum dan tawa yang terlukis pada
bibir setiap anggota keluarga kami. Sudah tak ada kebimbangan yang bersarang
pada diri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar