Sudah beberapa kali aku seberangi selat sunda, bukan sekedar untuk liburan ke pulau jawa namun tuntutan pendidikan yang membawaku untuk sering melakukan perjalanan ini. Aku yang terlahir dan hidup di lampung hingga SMA, lalu setelah lulus SMA harus merantau ke pulau jawa, meninggalkan provinsi lampung yang terkenal dengan keripik pisangnya. Awalnya rindu memacu untuk selalu ingin pulang namun karena terbiasa rindu tak begitu terasa, aku mulai menemukan keluarga baru yang tak kalah seru di pulau jawa ini. Aku tak ingin bercerita tentang adaptasiku tapi lebih tentang perjalanan 24 jamku, lampung ke jogja.
Tanggal 21 februari 2017 dapat menjadi catatan pendekku, mungkin sudah berkali kali aku pulang pergi lampung-jawa tapi kali ini perjalanku cukup menarik. Aku disandingkan duduk dengan seorang ibu yang mengispirasi, mungkin lebih pantas dipanggil nenek karena umurnya sudah lebih dari 60 tahun, namanya nenek Haryani. Beliau memang bukan seorang pejabat ataupun orang hebat dimata manusia namun beliau begitu menjadi inspirasiku dengan segala kisah hidupnya.
Orangtua memang suka bercerita dan didengar, ini pelajaran pertamaku darinya. Dengan senyum yang begitu ikhlas beliau bercertia tentang tujuannya ke jawa hingga merembet ke cerita anak cucunya, aku tak bosan mendengarkan kata-katanya, hanya saja terselip bayangan kedua orangtuaku yang kelak akan sepertinya, butuh tempat cerita dan perhatian tanpa meminta harta benda dari anak anaknya.
Pelajaran yang kedua tentang kegigihan, beliau bukan orang yang beruntung menurut manusia, lahir dan besar di daerah prambanan dalam keadaan keluarga yang tak utuh, perceraian jadi pilihan kedua orangtuanya, bapaknya tak mau menyekolahnya, sehingga membuat beliau harus bekerja keras. Lulus SD beliau belajar bertani dengan diberi upah seadanya oleh tetangganya, lalu meningkat belajar berdagang, dengan uang yang sudah didapat beliau dan temannya membeli barang dari petani lalu beliau tawarkan barang tersebut di pasar. Sedikit demi sedikit uang terkumpul dan ditabung untuk membeli emas sebagai invetarisnya.
Masalah pun muncul ketika kakaknya ingin sekolah di jogja. Tekadnya begitu kuat sampai sampai saat malam jum'at kakaknya membawanya ke sebuah kuburan dan berkata "lek aku ora sekolah ngekos neng jogja gonku neng kene" (kalau aku tidak sekolah dan ngekos di jogja tempatku di sibi) sambil menunjuk kuburan. Aku masih tak mengerti dengan kata kata ini namun aku tak banyak tanya karena tak ada waktu jeda, nenek Haryani melanjutkan ceritanya. Beliau tau bahwa bapaknya sudah tak mau menyekolahkan anak anaknya sehingga beliau harus meminta tolong anggota keluarga yang lain untuk membantu kakaknya sekolah di jogja, kakaknya pun kini sukses dan tinggal bersama istrinya di kalimantan. Sayangnya nenek Haryani tak dapatkan kesempatan sekolah seperti kakaknya.
Setelah menikah, nenek Haryani dengan suaminya pindah ke lampung. Dengan semangat dan kerja kerasnya beliau berhasil menyekolahkan ke 4 anaknya sampai lulus SMK hanya dengan bercocok tanam di tanah orang ataupun berdagang di pasar, dan yang lebih hebat meski harus membantu orangtua seperti mencari makan ternak, ke ladang, namun anak-anak nenek Haryani masih tetap bisa mendapatkan beasiswa. Sedangkan aku ataupun mungkin kita sering beralasan tidak membantu orangtua karena belajar, padahal sebenarnya waktu 24 jam dalam sehari cukup untuk melakukan keduanya. Aku tak sanggup menahan kantuk, mataku pun terpejam setelah beliau berhenti bercerita.
Cerita beliau dilanjutkan saat kita di kapal, beliau bercerita bahwa beliau ketika kecil beragama khatolik karena lingkungannya banyak yang khatolik dan sering diberikan hadiah berupa baju, diajak naik mobil ke kalasan jika mengikuti kegiatan gereja hingga beliau khatam al-kitab dan pastur ke rumahnya untuk meminta izin ke nenek beliau agar beliau di babtis, tapi neneknya tidak mengizinkan. Beliau pun menikah dengan cara islam, namun agama islam yang dijalaninya masih islam KTP katanya, beliau giat bekerja hingga lupa mengaji, namun kini ketika sudah mulai menua beliau sadar kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Saat sedang di ladang tiba waktunya mengaji atau shalat, pekerjaan beliau tinggalkan. Beliau medapatkan ketenangan yang lebih besar saat sudah memeluk agama islam dan mulai mempelajari islam dengan sungguh sungguh. Memang mengaji tak merubah si miskin menjadi si kaya tapi kekayaan itu akan dipetik di akhirat kelak itu katanya. beliau yang sudah tua saja bersemangat, apalagi kita yang muda dan memiliki pikiran dan energi lebih dari pada nenek Haryani. Ajal datang tak kenal tua atau muda, sakit atau sehat, ajal datang dengan tiba-tiba.
Aku berharap bisa bertemu beliau lagi dan aku pun tertarik menulis kisah tentangnya, mengabadikan ceritanya dalam blogku ini. semoga menginspirasi. Oh ya satu kalimat yang sering beliau ulangi dalam ceritanya "Kulo boten ngarep dadi sugeh, seng penting cukup" translite "saya tidak berharap jadi kaya yang terpenting cukup". Inilah kesederhanaan yang menjadi solusi agar syukur terasa mudah tapi ikhtiar tetap berjalan.
Tanggal 21 februari 2017 dapat menjadi catatan pendekku, mungkin sudah berkali kali aku pulang pergi lampung-jawa tapi kali ini perjalanku cukup menarik. Aku disandingkan duduk dengan seorang ibu yang mengispirasi, mungkin lebih pantas dipanggil nenek karena umurnya sudah lebih dari 60 tahun, namanya nenek Haryani. Beliau memang bukan seorang pejabat ataupun orang hebat dimata manusia namun beliau begitu menjadi inspirasiku dengan segala kisah hidupnya.
Orangtua memang suka bercerita dan didengar, ini pelajaran pertamaku darinya. Dengan senyum yang begitu ikhlas beliau bercertia tentang tujuannya ke jawa hingga merembet ke cerita anak cucunya, aku tak bosan mendengarkan kata-katanya, hanya saja terselip bayangan kedua orangtuaku yang kelak akan sepertinya, butuh tempat cerita dan perhatian tanpa meminta harta benda dari anak anaknya.
Pelajaran yang kedua tentang kegigihan, beliau bukan orang yang beruntung menurut manusia, lahir dan besar di daerah prambanan dalam keadaan keluarga yang tak utuh, perceraian jadi pilihan kedua orangtuanya, bapaknya tak mau menyekolahnya, sehingga membuat beliau harus bekerja keras. Lulus SD beliau belajar bertani dengan diberi upah seadanya oleh tetangganya, lalu meningkat belajar berdagang, dengan uang yang sudah didapat beliau dan temannya membeli barang dari petani lalu beliau tawarkan barang tersebut di pasar. Sedikit demi sedikit uang terkumpul dan ditabung untuk membeli emas sebagai invetarisnya.
Masalah pun muncul ketika kakaknya ingin sekolah di jogja. Tekadnya begitu kuat sampai sampai saat malam jum'at kakaknya membawanya ke sebuah kuburan dan berkata "lek aku ora sekolah ngekos neng jogja gonku neng kene" (kalau aku tidak sekolah dan ngekos di jogja tempatku di sibi) sambil menunjuk kuburan. Aku masih tak mengerti dengan kata kata ini namun aku tak banyak tanya karena tak ada waktu jeda, nenek Haryani melanjutkan ceritanya. Beliau tau bahwa bapaknya sudah tak mau menyekolahkan anak anaknya sehingga beliau harus meminta tolong anggota keluarga yang lain untuk membantu kakaknya sekolah di jogja, kakaknya pun kini sukses dan tinggal bersama istrinya di kalimantan. Sayangnya nenek Haryani tak dapatkan kesempatan sekolah seperti kakaknya.
Setelah menikah, nenek Haryani dengan suaminya pindah ke lampung. Dengan semangat dan kerja kerasnya beliau berhasil menyekolahkan ke 4 anaknya sampai lulus SMK hanya dengan bercocok tanam di tanah orang ataupun berdagang di pasar, dan yang lebih hebat meski harus membantu orangtua seperti mencari makan ternak, ke ladang, namun anak-anak nenek Haryani masih tetap bisa mendapatkan beasiswa. Sedangkan aku ataupun mungkin kita sering beralasan tidak membantu orangtua karena belajar, padahal sebenarnya waktu 24 jam dalam sehari cukup untuk melakukan keduanya. Aku tak sanggup menahan kantuk, mataku pun terpejam setelah beliau berhenti bercerita.
Cerita beliau dilanjutkan saat kita di kapal, beliau bercerita bahwa beliau ketika kecil beragama khatolik karena lingkungannya banyak yang khatolik dan sering diberikan hadiah berupa baju, diajak naik mobil ke kalasan jika mengikuti kegiatan gereja hingga beliau khatam al-kitab dan pastur ke rumahnya untuk meminta izin ke nenek beliau agar beliau di babtis, tapi neneknya tidak mengizinkan. Beliau pun menikah dengan cara islam, namun agama islam yang dijalaninya masih islam KTP katanya, beliau giat bekerja hingga lupa mengaji, namun kini ketika sudah mulai menua beliau sadar kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Saat sedang di ladang tiba waktunya mengaji atau shalat, pekerjaan beliau tinggalkan. Beliau medapatkan ketenangan yang lebih besar saat sudah memeluk agama islam dan mulai mempelajari islam dengan sungguh sungguh. Memang mengaji tak merubah si miskin menjadi si kaya tapi kekayaan itu akan dipetik di akhirat kelak itu katanya. beliau yang sudah tua saja bersemangat, apalagi kita yang muda dan memiliki pikiran dan energi lebih dari pada nenek Haryani. Ajal datang tak kenal tua atau muda, sakit atau sehat, ajal datang dengan tiba-tiba.
Aku berharap bisa bertemu beliau lagi dan aku pun tertarik menulis kisah tentangnya, mengabadikan ceritanya dalam blogku ini. semoga menginspirasi. Oh ya satu kalimat yang sering beliau ulangi dalam ceritanya "Kulo boten ngarep dadi sugeh, seng penting cukup" translite "saya tidak berharap jadi kaya yang terpenting cukup". Inilah kesederhanaan yang menjadi solusi agar syukur terasa mudah tapi ikhtiar tetap berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar