Minggu, 12 Februari 2017

PAKDE GURU YANG TERLUPAKAN

Sejuknya udara, anggunnya tetesan embun, hangatnya cahaya matahari membuat derajat semangat selalu meningkat di awal hari. Pagi layaknya kendaraan yang baru saja keluar dari showroom, mesin masih halus, gas masih ringan, rasanya sulit untuk berjalan pelan atau diam, sedangkan sore layaknya kendaraan yang sudah hampir di musiumkan, lebih baik diam daripada berjalan tapi melelahkan karena tak akan jalan tanpa dorongan.

Jika pagi terlewatkan hanya dengan bermalas malasan padahal berkah dan semangat maksimal ada di titik ini lalu bagaimana dengan siang dan sore harinya yang semangat tak lagi ada, energi tinggal sisa, sinar matahari yang sangat menyengat menghasilkan tetesan keringat? Awali pagi dengan barmakna karena pagi dapat menentukan bagaimana siang, sore dan malammu, karena pagi waktu diturunkannya keberkahan.

Aku lebih suka mengisi pagiku dengan berinteraksi bersama tanaman. Segarnya dedaunan, indahnya bunga yang bermekaran seraya menunjukan ribuan dzikir yang terlantunkan. Rasanya aku ingin jadi tumbuhan saja yanga selalu berdzikir pada yang Maha Kuasa tanpa melakukan perbuatan dosa, namun Allah tau kalau aku mampu mendapatkan akal yang dengannya Allah bantu aku membedakan yang salah dan benar. Aku tetap bersyukur tercipta sebagai manusia.

Saat aku mencabuti rumput yang menganggu tanaman lain di halaman depan rumah terdengar suara bapak memanggilku dari teras rumah, aku pun menghampirinya, beliau menanyakan dimana aku menyimpan flashdick, aku pun masuk rumah untuk mengambilkannya. Tampak seorang lelaki seumuran dengan bapakku berpakaian dinas duduk di bangku depan pintu. Aku pun berjalan sedikit membungkuk dan tersenyum padanya untuk menghormatinya begitu pula ketika keluar rumah sikap yang ku lakukan sama seperti sebelumnya.

Beberapa menit setelah aku melanjutkan kembali pekerjaanku, lelaki tadi mendekatiku dan bertanya "kamu dulu sekolah dimana?" Nada suara tak seperti bertanya namun ingin memastikan sesuatu dengan sedikit penekanan
Sekolah? Sekolah SMA apa SMP pikirku dalam hari, sejek membisu aku baru menjawab beberapa detik kemudian "SMANSA Terbanggi Besar, Pakde" sambil senyum agar terlihat ramah, padahal cukup heran kenapa tanya tentang sekolah yang dulu, biasanya teman bapak tanya sekarang sekolahnya dimana
"Sekarang kuliah dimana?" Tanyanya kembali, namun kali ini intonasi suara benar benar seperti bertanya.
"Poltekkkes solo, pakde" senyumku mulai ringan
Lelaki itu langsung pergi, tapi tak lama kemudian menghampiriku kembali dan bertanya "kamu gak inget siapa aku?"
Aku berusaha keras mengingat, tak ada satu namapun yang muncul di pikiranku "lupa pakde" sambil tersenyum malu
"aku ini gurumu yang dulu nganterin kamu pulang lomba di unila, masa gak inget" sambil mencuci tangan di kran dekatku (seperti ini hanya alasan karena aku tak tau tangannya kotor karena apa) dan raut wajah sedikit masam namun suaranya tidak seperti marah hanya sedikit menggunakan penekanan lalu pergi begitu saja
Lagi lagi aku membisu tapi ini lebih lama bahkan hingga lelaki itu pergi aku masih tetap termenung, senyumku yang tadi berubah menjadi mata yang berkaca kaca, tangan gemetar, rasanya ingin menangis. Murid macam apa aku ini, aku baru lulus SMA kurang lebih 6 bulan yang lalu tapi sudah lupa dengan gurunya.
Beliau memang tak mengajarku, beliau pun jarang terlihat di sekolahan, ketika mengantar pulang aku dan teman teman duduk di belakangs sehingga tak bisa melihat wajah beliau dan setelah kejadian ini beberapa teman sekelasku yang ku temui tidak tau tentang dirinya meski ku telah sebutkan ciri cirinya namun tetap saja guru mana yang tak sakit hati jika muridnya lupa dengan gurunya apalagi telah mengantar pulang.

Aku sangat merasa bersalah namun ta mampu aku mengucap maaf. Kejiadian yang terjadi tahun 2013 ini tidak akan membuatku lupa. Hingga akhirnya tahun 2016 saat aku sedang akan menyuntik pasien terdengar suara salam dari arah pintu, aku hanya menjawab salamnya tanpa bisa menghampirinya. Orang tersebut masuk berdiri tepat di depan pintu ruang periksa dengan sebuah keras undangan di tangannya, aku pun berbalik badan dan tiba tiba kembali membisu melihatnya. Dia guruku yang waktu itu ku panggil pakde, ingin menghampirinya tapi aku masih memegang suntikan. Tak lama ibuku yang menghampirinya dan menerima undangan tersebut, setelah itu guruku pergi.

Aku tak sekedar menyesal tapi sangat menyesal, aku ingin mengucapkan kata maaf padanya tapi bagaimana caranya, bertemu saja tak pernah, saat diberi kesempatan bertemu aku tak sempat bicara. Aku takut ketika guru marah padaku Allah mempersulitku dalam menuntut ilmu, karena salah satu cara menghargai ilmu adalah dengan menghargai guru.

Allah memberikan aku jalan untuk kuliah lagi melanjutkan D4 di yogyakarta. Tak hanya ilmu kebidanan yang ku dapat di kota gudeg itu tapi juga ilmu agama, aku belajar bagaimana adab murid dengan guru, aku pun bertekat ingin bertemu guruku yang sempat ku panggil pakde saat aku pulang dan ingin minta maaf. Alhamdulillah setelah 3 minggu liburan semester di rumah bapakku baru sempat mengantarku ke rumah guruku.

Minggu pagi kami sudah berpakaian rapi, aku diantar bapakku karena aku belum tau rumahnya dan aku tidak bisa mengendarai mobil dan motor selain motor matic. Semakin dekat dengan rumahnya jantungku semakin cepat berdetaknya. Sesampainya di sana tampak beberapa orang yang berpakaian rapi sudah bediri di depan rumah, terpakir mobil di depannya. "Kayanya mau pergi din" kata bapak
"Iya pak, gak papa bentar saja pak" ku pegang dadaku untuk menenangkan jantung yang semakin cepat berdetak.

Aku pun turun, menyalami beberapa orang dan seorang wanita masuk memanggil bapak dan ibunya. Aku, bapak, guruku dan istrinya pun duduk di ruang tamu, istri guruku memecahkan suasana yang kaku, aku pun ikut sedikit santai. Guruku dan istrinya terlihat bahagia dengan kedatanganku, kami membicarakan tentang pekerjaan dan pendidikan bidan karena anaknya ada yang bidan, tapi ada sedikit pun bahasan tentang kejadian memalukan 2013 dulu. Mungkin guruku tak lupa namun dia tak ingin membahasnya.

Tak lama kita berbincang bapak pamit pulang, takut mengganggu guruku dan keluarganya yang akan pergi pengajian. Aku sangat bahagia melebihi kebahagian guruku yang didatangi muridnya, walaupun tak sempat minta maaf, setidaknya aku sudah melihatnya tersenyum. Semoga pertemuan ini dapat menjadikan keberkahan, keinginanku selama untuk bertemu guruku sudah Allah kabulkan. Maafkan aku Pakde Guru yang lupa padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar