'Hijrah' kata yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat indonesia, namun tak semua yang sering mendengar ktau ini tau makna Hijrah. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh: H. Dedih Surana, Drs., M.Ag. (Dosen Universitas Islam Bandung/Unisba) Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan,
menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah hijrah,
hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw
bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan
mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at
Islam.
Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw tersebut sebagaian ulama ada yang mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari kekufuran menuju keimanan. Umat Islam wajib melakukan hijrah apabila diri dan keluarganya terancam dalam mempertahankan akidah dan syari’ah Islam.
Sehingga kini dimaknai para muslim dan muslimah yang berubah demi menempuh jalan taqwa adalah orang yang sedang hijrah. Akupun merasakan masa ini, yang dahulu aku berhijab sesuai standart nasional hingga akhirnya berubah dengan pakaian yang lebih baik sesuai dengan yang Allah perintahkan. Perintah berhijrah terdapat dalam beberpa ayat Al-Qur’an, antara lain:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah 2:218).
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)
Orangtua yang mengarahkan aku mengaji TPA dan mereka yang marah ketika aku tidak shalat ataupun tidak mengaji dulu ketika kecil, itu menurutku dahulu sudah lebih dari cukup untuk mengajarkan ilmu agama padaku. Namun setelah dewasa semakin aku tau bahwa ilmu agama islam itu luas, tidak sekedar berjilbab, shalat, puasa, zakat dan membaca Al-Qur'an. Masa kegalauan dan pencarian jati diri mencapai puncaknya saat aku mengenakan seragam putih abu abu. Saat itu ada salah seorang temanku yang menurutku lebih paham agama diantara kita, dia tidak bersalam dengan lawan jenis, padahal kita tau bagaimana pergaulan anak SMA yang sudah terbiasa berbaur antara laki laki dan perempuan tapi dia begitu menjaga dirinya. Aku yang tidak berilmu sering bercanda mungkin bisa dibilang mengejeknya dengan kata kata seperti ini "hayo kalau gak boleh pinjem (atau hal lain) nanti aku pegang", dia jawab dengan senyum dan berkata "kalau berani", aku terdiam membisu untuk beberapa detik. Aku memang sering mengejeknya tapi aku tidak pernah berani untuk menyentuhnya. Hingga akhirnya ada salah satu teman yang menjelaskan kepadaku alasan temanku itu melakukan hal itu karena sebuah hadist ""
Alhamdulillah yang telah memberikan Rahmad dan hidayah Nya kepadaku, dari itu aku mulai belajar sepertinya, menjaga jarak dengan lawan jenis. Aku sering tersenyum sendiri mengingat bagaimana cara Allah menegurku. Waktu terus berjalan, aku belajar sedikit demi sedikit ilmu agama dari teman teman SMA. Menginjak ke lingkungan kampus dan bergelar menjadi seorang perantauan. Aku memang semakin jauh dari orangtua namun justru hal ini membuatku semakin dekat dengan Allah. Aku temukan majelis ilmu yang tak aku temukan di Lampung. Teman dan lingkungan pun mendukung. Aku dipersatukan dengan seorang wanita sholihah sesuai namanya. Saat harus praktek di bidan pertama kalinya di semester 3 aku cukup khawatir karena harus menggunakan rok selama sebulan padahal aku hobi mengenakan celana gunung (bukan jens). Aku mulai percaya kalau teman dekat adalah cerminan diri, hanya dalam waktu sebulan dia bisa mempengaruhiku sedikit demi sedikit. Dia yang selalu berpakaian syar'i lengkap dengan kaos kaki meski di dalam rumah karena memang kita tinggal serumah dengan keluarga bu bidan yang jelas bukan mahram dengan kita. Aku pun mulai selalu mengenakan kaos kaki kalau ke luar rumah.
Tak sampai di situ, praktek klinik selanjutnya pun aku selalu dengannya, hingga beberapa orang sering tertukar jika memanggil kami karena kami sering berdua terus padahal sudah jelas aku dengannya secara fisik sangat berbeda. Jilbabku yang tadinya minimalis mulai memanjang ke bawah. Ketika aku di jawa memang perubahan ke arah yang baik ini mungkin sangat terasa mudah, namun ketika balik ke kampung halaman aku siap mendapatkan segala konsekuensi atas segala perubahanku. Yang mulai dilirik dengan pandangan tajam dari ujung kepala hingga ujung kaos kaki, dikomentari soal penampilan sudah biasa, dipanggil panggil ustadzah atau bu hajah di amiini saja, itu adalah bagian dari do'a. Namun yang paling menyakitkan ketika di kampung tidak ada kajian tentang islam, rasanya bisikan setan lebih sulit ditolak dibandingkan ketika dikelilingi oleh wanita sholihah.
Setelah lulus akupun balik ke lampung, aku mencari majelis ilmu agama terdekat, alhamdulilah ada jalan, aku mendapatkan kontak ustadzah yang mungkin jarak perjalanan ke tempat mengaji hanya 1/2 jam. Belum sempat aku bersua dengan majelis itu, aku sudah harus ke jawa untuk test lanjut kuliah D4. Bersambung....
Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw tersebut sebagaian ulama ada yang mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari kekufuran menuju keimanan. Umat Islam wajib melakukan hijrah apabila diri dan keluarganya terancam dalam mempertahankan akidah dan syari’ah Islam.
Sehingga kini dimaknai para muslim dan muslimah yang berubah demi menempuh jalan taqwa adalah orang yang sedang hijrah. Akupun merasakan masa ini, yang dahulu aku berhijab sesuai standart nasional hingga akhirnya berubah dengan pakaian yang lebih baik sesuai dengan yang Allah perintahkan. Perintah berhijrah terdapat dalam beberpa ayat Al-Qur’an, antara lain:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah 2:218).
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)
Orangtua yang mengarahkan aku mengaji TPA dan mereka yang marah ketika aku tidak shalat ataupun tidak mengaji dulu ketika kecil, itu menurutku dahulu sudah lebih dari cukup untuk mengajarkan ilmu agama padaku. Namun setelah dewasa semakin aku tau bahwa ilmu agama islam itu luas, tidak sekedar berjilbab, shalat, puasa, zakat dan membaca Al-Qur'an. Masa kegalauan dan pencarian jati diri mencapai puncaknya saat aku mengenakan seragam putih abu abu. Saat itu ada salah seorang temanku yang menurutku lebih paham agama diantara kita, dia tidak bersalam dengan lawan jenis, padahal kita tau bagaimana pergaulan anak SMA yang sudah terbiasa berbaur antara laki laki dan perempuan tapi dia begitu menjaga dirinya. Aku yang tidak berilmu sering bercanda mungkin bisa dibilang mengejeknya dengan kata kata seperti ini "hayo kalau gak boleh pinjem (atau hal lain) nanti aku pegang", dia jawab dengan senyum dan berkata "kalau berani", aku terdiam membisu untuk beberapa detik. Aku memang sering mengejeknya tapi aku tidak pernah berani untuk menyentuhnya. Hingga akhirnya ada salah satu teman yang menjelaskan kepadaku alasan temanku itu melakukan hal itu karena sebuah hadist ""
Alhamdulillah yang telah memberikan Rahmad dan hidayah Nya kepadaku, dari itu aku mulai belajar sepertinya, menjaga jarak dengan lawan jenis. Aku sering tersenyum sendiri mengingat bagaimana cara Allah menegurku. Waktu terus berjalan, aku belajar sedikit demi sedikit ilmu agama dari teman teman SMA. Menginjak ke lingkungan kampus dan bergelar menjadi seorang perantauan. Aku memang semakin jauh dari orangtua namun justru hal ini membuatku semakin dekat dengan Allah. Aku temukan majelis ilmu yang tak aku temukan di Lampung. Teman dan lingkungan pun mendukung. Aku dipersatukan dengan seorang wanita sholihah sesuai namanya. Saat harus praktek di bidan pertama kalinya di semester 3 aku cukup khawatir karena harus menggunakan rok selama sebulan padahal aku hobi mengenakan celana gunung (bukan jens). Aku mulai percaya kalau teman dekat adalah cerminan diri, hanya dalam waktu sebulan dia bisa mempengaruhiku sedikit demi sedikit. Dia yang selalu berpakaian syar'i lengkap dengan kaos kaki meski di dalam rumah karena memang kita tinggal serumah dengan keluarga bu bidan yang jelas bukan mahram dengan kita. Aku pun mulai selalu mengenakan kaos kaki kalau ke luar rumah.
Tak sampai di situ, praktek klinik selanjutnya pun aku selalu dengannya, hingga beberapa orang sering tertukar jika memanggil kami karena kami sering berdua terus padahal sudah jelas aku dengannya secara fisik sangat berbeda. Jilbabku yang tadinya minimalis mulai memanjang ke bawah. Ketika aku di jawa memang perubahan ke arah yang baik ini mungkin sangat terasa mudah, namun ketika balik ke kampung halaman aku siap mendapatkan segala konsekuensi atas segala perubahanku. Yang mulai dilirik dengan pandangan tajam dari ujung kepala hingga ujung kaos kaki, dikomentari soal penampilan sudah biasa, dipanggil panggil ustadzah atau bu hajah di amiini saja, itu adalah bagian dari do'a. Namun yang paling menyakitkan ketika di kampung tidak ada kajian tentang islam, rasanya bisikan setan lebih sulit ditolak dibandingkan ketika dikelilingi oleh wanita sholihah.
Setelah lulus akupun balik ke lampung, aku mencari majelis ilmu agama terdekat, alhamdulilah ada jalan, aku mendapatkan kontak ustadzah yang mungkin jarak perjalanan ke tempat mengaji hanya 1/2 jam. Belum sempat aku bersua dengan majelis itu, aku sudah harus ke jawa untuk test lanjut kuliah D4. Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar