Setelah sebulan lamanya tak bersua dengan majelis ilmu agama, Alhamdulillah yang telah memberikan aku kesempatan untuk bisa tetap menuntut ilmu Nya.
Hari ini jadwal halaqoh, kajian inilah yang selalu dirindukan. Sebuah kajian kontinu dengan sebuah lingkaran kecil. Jika ta'lim seperti tabligh akbar mungkin kita tak kenal sebelah kiri kanan tapi di sini kami seperti dipersaudarakan. Saling mengingatkan dalam kebaikan, tak sekedar kenal nama tapi masalah pribadi pun kita bicarakan untuk temukan solusi secara syar'i.
Mukhodimah kali ini dari murabiah begitu menyentuh hati. Beliau berkata bahwa beliau bisa saja tak datang ke majelis ini karena udzur syar'i namun beliau sangat rindu kami dan tarbiyah ini beliau rela menempuh jarak yang tak bisa dibilang dekat, sragen - jogja. Beliau bisa hadir di antara kita pun tak serta merta dari usahanya namun karena Rahmad dan hidayah Nya. Mata beliau pun berkaca kaca, seperti haru bisa tarbiyah.
Berapa banyak orang di luar sana yang sedang sibuk dengan urusan dunia hingga lupa kewajibannya. Menuntut ilmu agama itu wajib hukumnya, bukan untuk jadi ustadz dan ceramah di atas mimbar tapi agar ibadah kita memiliki dasar ilmu. Tanpa ilmu apakah kita tau cara berwudhu, jika caranya salah maka wudhunya tak sah, jika wudhu tak sah maka shalat pun tak sah. Amal kita jadi percuma tanpa ilmu agama. Ini pentingnya menurut ilmu.
Mungkin kita bisa belajar lewat membaca buku, apalagu sekarang semua mudah diakses lewat sebuah kotak canggih dalam genggaman kita. Tinggal sentuh sentuh apa yang kita cari sudah dapat dimunculkan asal ada kuota atau terkoneksi hotspot. Namun tetap berbeda sensasi menurut ilmu lewat membaca dengan berkumpul semacam ini. Siapa yang menjamin semua buku benar, bisa salah cetak, tapi kalau majelis seperti ini kita salah maka banyak yang mengingatkan dan murabiah meluruskan. Selain itu pahalanya InsyaAllah di sisi Allah juga beda dengan yg santai santai membaca sambil tiduran.
Ketika malas dalam menuntut ilmu jadi ingat perkataan seorang moderator "jangan pernah lelah memperjuangan islam karena manisnya surga tidak dirasakan oleh orang yang hanya duduk diam di kamar kosan". Ini menohok sekali untukku yang bermimpi masuk surga dan menatap wajah Allah.
Sesampainya di rumah dapat kiriman WA yang isinya begini
*~ SUNGGUH AKU MASIH SANGAT KURANG ~*
Oleh : Sania Rifa
Hari itu aku baru saja selesai kuliah pukul 3 sore. Aku memutuskan untuk menuju masjid fakultas sembari menunggu azan Asar dan sholat Asar berjamaah. Sudah lama aku tak mengunjungi masjid fakultas, mungkin karena akhir-akhir ini aku sangat disibukkan dengan tugas akhirku. Maklum, mahasiswa tingkat akhir.
“Assalamu’alaykum, Mbak Fatimah. Apa kabar mbak? Udah lama ga ketemu nih”
Suara yang aku kenal membuyarkan lamunanku yang sedang duduk menunggu iqamah sholat Asar.
“Wa’alaykumsalam Husna, Alhamdulillah baik. Iyanih, mbak udah jarang ke masjid sekarang”
Pembicaraanku dengan Husna segera dipotong oleh iqamah salat Asar. Aku, Husna dan jamaah wanita lainnya segera mengambil tempat di shaf pertama dan merapatkan shaf sholat. Seusai sholat Asar aku tidak langsung pulang. Aku sengaja ingin menikmati waktu-waktu di masjid, mengobati rasa rindu serta menemukan ketenangan yang entah mengapa selalu bisa aku temukan di masjid.
Kebanyakan jamaah wanita setelah sholat dan berdoa, akan mematut diri di cermin sebentar kemudian pergi keluar masjid. Namun, ada satu jamaah wanita yang menarik perhatianku. Sudah 30 menit setelah solat Asar selesai, namun dia masih terduduk diam tak berpindah dari tempat sholatnya tadi. Itu Husna, adik tingkatku yang tadi menyapaku. Aku sengaja menunggu Husna, hingga akhirnya dia bangkit dan menggantungkan mukena yang dipakainya. Wajahnya tertunduk dan tak melihatku yang duduk di sisi kanan masjid.
“Husna,”aku memanggilnya sambil tersenyum dan melambaikan tanganku.
“Lama banget doanya, Na. Doain apa sih? Jangan lupa doain skripsi Mbak cepet selesai ya”
“Oh mbak Fatimah masih disini? Doain banyak macem mbak. Hehe. Soalnya ini hari Jumat jadi mau manfaatin waktu-waktu doa di ijabah aja mbak.”
“MasyaAllah, ukhti. Nanti abis solat Maghrib deh, jangan lupa doain ya. Eh doain abis setiap kamu solat juga lebih bagus,”balasku.
“Iya, insyaAllah Husna doain mbak”jawabnya sambil tersenyum kecil.
“Eh Na, emang sekarang lagi sibuk apa? Kok kayak banyak pikiran gitu sih? Cerita sini”
Husna pun mengambil tas nya dan duduk di depanku. Menjawab dengan jawaban mahasiswa pada umumnya bahwa dia sedang sibuk kuliah dan organisasi. Bercerita tentang sulitnya mata kuliah yang dia ambil, laporan yang tak kunjung berhenti, serta banyaknya agenda rapat dari organisasi yang dia ikuti. Kami mengobrol banyak hal, sesekali aku memberikan saran kepadanya bila memang masalahnya dulu pernah aku hadapi. Hingga akhirnya dia bertanya tentang suatu hal.
“Mbak, menurut mbak kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk Islam?”
“Eh, kontribusi? Menurutku kamu belajar sungguh-sungguh dan ikut organisasi di fakultas ini sudah bisa jadi kontribusi kok,”jawabku sekenanya.
Ada rona tidak puas di wajahnya saat mendengar jawabanku. Seakan berkata, duh kalo gitu Husna juga tau, mbak. Akhirnya dia bercerita panjang lebar kenapa sampai menanyakan pertanyaan tersebut. Belakangan ini dia rutin mengikuti kajian dengan tema Sirah Nabawiyah. Sudah pertemuan ke tujuh, katanya. Kajiannya sudah mulai membahas dakwah Nabi Muhammad secara terang-terangan. Tentang sabarnya Nabi Muhammad dalam mendakwahi suku Quraisy meski dicaci maki, diperlakukan kasar dan hampir dibunuh. Tentang budak Muslim yang tetap bertahan dalam keimanan kepada Allah meski disiksa dengan sangat keji oleh tuannya. Tentang Abu Bakar yang kadar keimanannya sangat tinggi, langsung percaya apapun yang dikatakan Nabi Muhammad dan langsung menyebarkan dakwah Islam setelah dirinya masuk Islam. Tentang Hamzah yang rela membela Nabi Muhammad saat dikeroyok suku Quraisy dan akhirnya diberikan Allah hidayah untuk masuk Islam. Serta tentang segala perjuangan dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
“Iya, mbak. Aku jadi sedih dengan diriku sendiri setelah tau perjuangan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dalam mendakwahkan Islam. Sedangkan aku di sini, hidup enak, bisa kuliah, mau ibadah ga ada yang nyiksa, tapi ngelakuin ibadah aja masih kendor.”
Selanjutnya Husna bercerita tentang orang-orang yang kisah hidupnya menginspirasi. Ada seorang ustad yang hidupnya mengabdikan diri di pesantren di daerah terpencil, membimbing anak-anak di daerah tersebut menjadi hafidz dan hafidzah. Ada seorang Ibu yang sangat berprestasi, memilih menjadi ibu rumah tangga, menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya untuk kemudian setelah anaknya sukses masih tetap semangat melanjutkan lagi sekolahnya karena ingin terus memberi manfaat dari ilmunya. Ada seorang pengusaha yang dulunya jatuh bangun mengejar kesuksesan, namun setelah sukses dia tidak egois dan justru membangun panti asuhan di beberapa daerah. Ada seorang dokter yang meski hidupnya sederhana tapi rela membuka klinik gratis di rumahnya untuk orang-orang tidak mampu.
“Husna kagum dengan mereka mbak. Mereka yang kontribusinya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Husna juga pengen kayak mereka. Tapi Husna belum tau bisa berkontribusi apa. Makanya tadi abis sholat Asar, Husna curhat ke Allah. Minta tolong Allah supaya Husna bisa berkontribusi dalam Islam dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Doain ya Mbak, mungkin Husna sekarang belum bisa kasih apa-apa, kontribusi Husna masih sangat kurang tapi semoga nanti ke depannya Allah tunjukkin jalan biar Husna bisa jadi “sesuatu” juga.”jelasnya panjang lebar.
Seakan mendapat pukulan telak, aku hanya bisa terdiam. Husna, adik tingkatku yang sebenarnya tidak biasa-biasa saja, justru mengeluhkan sedikitnya kontribusi yang telah dia berikan. Padahal lihatlah, Husna adalah mahasiswa berprestasi, sering mengikuti olimpiade sejak SMP, sering memenangkan perlombaan karya tulis ilmiah, aktif di beberapa organisasi kampus, relawan di lembaga kemanusiaan, dan tentang ibadahnya, jangan ditanya. Menurutku dia sosok muslimah dengan ibadah dan akhlak yang sangat baik.
“Sungguh, aku masih sangat kurang” adalah kalimat yang justru lebih pantas ditujukan kepadaku. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Seperti sekarang saja aku berlagak seakan menjadi manusia yang paling menderita hanya karena mengurusi tugas akhir. Aku tak pernah memikirkan kontribusi apa yang bisa aku berikan untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Ya Allah, maafkan aku.
Husna, terima kasih telah menyadarkanku dan izinkan aku meminjam doamu.
“Ya Allah, sungguh ibadahku dan kontribusiku dalam Islam masih sangat kurang. Namun aku bersyukur karena Engkau telah menempatkanku pada lingkungan orang-orang hebat yang senantiasa menginspirasi dan memberi manfaat. Maka dari itu Ya Allah, jangan jadikan aku hanya sebagai penikmat saja. Jadikanlah aku sebagai penggerak dan pemberi manfaat. Tunjukkanlah padaku jalan untuk memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam rangka beribadah kepadaMu. Aamin”
Semakin menciut, bahkan ana tak pantas menjadi setitik buih lautan yang menggambarkan umat islam. Masih pantaskah kita diam, ayo ambil pena, kertas atau androidmu untuk membantu menuntut
Hari ini jadwal halaqoh, kajian inilah yang selalu dirindukan. Sebuah kajian kontinu dengan sebuah lingkaran kecil. Jika ta'lim seperti tabligh akbar mungkin kita tak kenal sebelah kiri kanan tapi di sini kami seperti dipersaudarakan. Saling mengingatkan dalam kebaikan, tak sekedar kenal nama tapi masalah pribadi pun kita bicarakan untuk temukan solusi secara syar'i.
Mukhodimah kali ini dari murabiah begitu menyentuh hati. Beliau berkata bahwa beliau bisa saja tak datang ke majelis ini karena udzur syar'i namun beliau sangat rindu kami dan tarbiyah ini beliau rela menempuh jarak yang tak bisa dibilang dekat, sragen - jogja. Beliau bisa hadir di antara kita pun tak serta merta dari usahanya namun karena Rahmad dan hidayah Nya. Mata beliau pun berkaca kaca, seperti haru bisa tarbiyah.
Berapa banyak orang di luar sana yang sedang sibuk dengan urusan dunia hingga lupa kewajibannya. Menuntut ilmu agama itu wajib hukumnya, bukan untuk jadi ustadz dan ceramah di atas mimbar tapi agar ibadah kita memiliki dasar ilmu. Tanpa ilmu apakah kita tau cara berwudhu, jika caranya salah maka wudhunya tak sah, jika wudhu tak sah maka shalat pun tak sah. Amal kita jadi percuma tanpa ilmu agama. Ini pentingnya menurut ilmu.
Mungkin kita bisa belajar lewat membaca buku, apalagu sekarang semua mudah diakses lewat sebuah kotak canggih dalam genggaman kita. Tinggal sentuh sentuh apa yang kita cari sudah dapat dimunculkan asal ada kuota atau terkoneksi hotspot. Namun tetap berbeda sensasi menurut ilmu lewat membaca dengan berkumpul semacam ini. Siapa yang menjamin semua buku benar, bisa salah cetak, tapi kalau majelis seperti ini kita salah maka banyak yang mengingatkan dan murabiah meluruskan. Selain itu pahalanya InsyaAllah di sisi Allah juga beda dengan yg santai santai membaca sambil tiduran.
Ketika malas dalam menuntut ilmu jadi ingat perkataan seorang moderator "jangan pernah lelah memperjuangan islam karena manisnya surga tidak dirasakan oleh orang yang hanya duduk diam di kamar kosan". Ini menohok sekali untukku yang bermimpi masuk surga dan menatap wajah Allah.
Sesampainya di rumah dapat kiriman WA yang isinya begini
*~ SUNGGUH AKU MASIH SANGAT KURANG ~*
Oleh : Sania Rifa
Hari itu aku baru saja selesai kuliah pukul 3 sore. Aku memutuskan untuk menuju masjid fakultas sembari menunggu azan Asar dan sholat Asar berjamaah. Sudah lama aku tak mengunjungi masjid fakultas, mungkin karena akhir-akhir ini aku sangat disibukkan dengan tugas akhirku. Maklum, mahasiswa tingkat akhir.
“Assalamu’alaykum, Mbak Fatimah. Apa kabar mbak? Udah lama ga ketemu nih”
Suara yang aku kenal membuyarkan lamunanku yang sedang duduk menunggu iqamah sholat Asar.
“Wa’alaykumsalam Husna, Alhamdulillah baik. Iyanih, mbak udah jarang ke masjid sekarang”
Pembicaraanku dengan Husna segera dipotong oleh iqamah salat Asar. Aku, Husna dan jamaah wanita lainnya segera mengambil tempat di shaf pertama dan merapatkan shaf sholat. Seusai sholat Asar aku tidak langsung pulang. Aku sengaja ingin menikmati waktu-waktu di masjid, mengobati rasa rindu serta menemukan ketenangan yang entah mengapa selalu bisa aku temukan di masjid.
Kebanyakan jamaah wanita setelah sholat dan berdoa, akan mematut diri di cermin sebentar kemudian pergi keluar masjid. Namun, ada satu jamaah wanita yang menarik perhatianku. Sudah 30 menit setelah solat Asar selesai, namun dia masih terduduk diam tak berpindah dari tempat sholatnya tadi. Itu Husna, adik tingkatku yang tadi menyapaku. Aku sengaja menunggu Husna, hingga akhirnya dia bangkit dan menggantungkan mukena yang dipakainya. Wajahnya tertunduk dan tak melihatku yang duduk di sisi kanan masjid.
“Husna,”aku memanggilnya sambil tersenyum dan melambaikan tanganku.
“Lama banget doanya, Na. Doain apa sih? Jangan lupa doain skripsi Mbak cepet selesai ya”
“Oh mbak Fatimah masih disini? Doain banyak macem mbak. Hehe. Soalnya ini hari Jumat jadi mau manfaatin waktu-waktu doa di ijabah aja mbak.”
“MasyaAllah, ukhti. Nanti abis solat Maghrib deh, jangan lupa doain ya. Eh doain abis setiap kamu solat juga lebih bagus,”balasku.
“Iya, insyaAllah Husna doain mbak”jawabnya sambil tersenyum kecil.
“Eh Na, emang sekarang lagi sibuk apa? Kok kayak banyak pikiran gitu sih? Cerita sini”
Husna pun mengambil tas nya dan duduk di depanku. Menjawab dengan jawaban mahasiswa pada umumnya bahwa dia sedang sibuk kuliah dan organisasi. Bercerita tentang sulitnya mata kuliah yang dia ambil, laporan yang tak kunjung berhenti, serta banyaknya agenda rapat dari organisasi yang dia ikuti. Kami mengobrol banyak hal, sesekali aku memberikan saran kepadanya bila memang masalahnya dulu pernah aku hadapi. Hingga akhirnya dia bertanya tentang suatu hal.
“Mbak, menurut mbak kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk Islam?”
“Eh, kontribusi? Menurutku kamu belajar sungguh-sungguh dan ikut organisasi di fakultas ini sudah bisa jadi kontribusi kok,”jawabku sekenanya.
Ada rona tidak puas di wajahnya saat mendengar jawabanku. Seakan berkata, duh kalo gitu Husna juga tau, mbak. Akhirnya dia bercerita panjang lebar kenapa sampai menanyakan pertanyaan tersebut. Belakangan ini dia rutin mengikuti kajian dengan tema Sirah Nabawiyah. Sudah pertemuan ke tujuh, katanya. Kajiannya sudah mulai membahas dakwah Nabi Muhammad secara terang-terangan. Tentang sabarnya Nabi Muhammad dalam mendakwahi suku Quraisy meski dicaci maki, diperlakukan kasar dan hampir dibunuh. Tentang budak Muslim yang tetap bertahan dalam keimanan kepada Allah meski disiksa dengan sangat keji oleh tuannya. Tentang Abu Bakar yang kadar keimanannya sangat tinggi, langsung percaya apapun yang dikatakan Nabi Muhammad dan langsung menyebarkan dakwah Islam setelah dirinya masuk Islam. Tentang Hamzah yang rela membela Nabi Muhammad saat dikeroyok suku Quraisy dan akhirnya diberikan Allah hidayah untuk masuk Islam. Serta tentang segala perjuangan dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
“Iya, mbak. Aku jadi sedih dengan diriku sendiri setelah tau perjuangan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dalam mendakwahkan Islam. Sedangkan aku di sini, hidup enak, bisa kuliah, mau ibadah ga ada yang nyiksa, tapi ngelakuin ibadah aja masih kendor.”
Selanjutnya Husna bercerita tentang orang-orang yang kisah hidupnya menginspirasi. Ada seorang ustad yang hidupnya mengabdikan diri di pesantren di daerah terpencil, membimbing anak-anak di daerah tersebut menjadi hafidz dan hafidzah. Ada seorang Ibu yang sangat berprestasi, memilih menjadi ibu rumah tangga, menjadi madrasah pertama untuk anak-anaknya untuk kemudian setelah anaknya sukses masih tetap semangat melanjutkan lagi sekolahnya karena ingin terus memberi manfaat dari ilmunya. Ada seorang pengusaha yang dulunya jatuh bangun mengejar kesuksesan, namun setelah sukses dia tidak egois dan justru membangun panti asuhan di beberapa daerah. Ada seorang dokter yang meski hidupnya sederhana tapi rela membuka klinik gratis di rumahnya untuk orang-orang tidak mampu.
“Husna kagum dengan mereka mbak. Mereka yang kontribusinya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Husna juga pengen kayak mereka. Tapi Husna belum tau bisa berkontribusi apa. Makanya tadi abis sholat Asar, Husna curhat ke Allah. Minta tolong Allah supaya Husna bisa berkontribusi dalam Islam dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Doain ya Mbak, mungkin Husna sekarang belum bisa kasih apa-apa, kontribusi Husna masih sangat kurang tapi semoga nanti ke depannya Allah tunjukkin jalan biar Husna bisa jadi “sesuatu” juga.”jelasnya panjang lebar.
Seakan mendapat pukulan telak, aku hanya bisa terdiam. Husna, adik tingkatku yang sebenarnya tidak biasa-biasa saja, justru mengeluhkan sedikitnya kontribusi yang telah dia berikan. Padahal lihatlah, Husna adalah mahasiswa berprestasi, sering mengikuti olimpiade sejak SMP, sering memenangkan perlombaan karya tulis ilmiah, aktif di beberapa organisasi kampus, relawan di lembaga kemanusiaan, dan tentang ibadahnya, jangan ditanya. Menurutku dia sosok muslimah dengan ibadah dan akhlak yang sangat baik.
“Sungguh, aku masih sangat kurang” adalah kalimat yang justru lebih pantas ditujukan kepadaku. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Seperti sekarang saja aku berlagak seakan menjadi manusia yang paling menderita hanya karena mengurusi tugas akhir. Aku tak pernah memikirkan kontribusi apa yang bisa aku berikan untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Ya Allah, maafkan aku.
Husna, terima kasih telah menyadarkanku dan izinkan aku meminjam doamu.
“Ya Allah, sungguh ibadahku dan kontribusiku dalam Islam masih sangat kurang. Namun aku bersyukur karena Engkau telah menempatkanku pada lingkungan orang-orang hebat yang senantiasa menginspirasi dan memberi manfaat. Maka dari itu Ya Allah, jangan jadikan aku hanya sebagai penikmat saja. Jadikanlah aku sebagai penggerak dan pemberi manfaat. Tunjukkanlah padaku jalan untuk memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam rangka beribadah kepadaMu. Aamin”
Semakin menciut, bahkan ana tak pantas menjadi setitik buih lautan yang menggambarkan umat islam. Masih pantaskah kita diam, ayo ambil pena, kertas atau androidmu untuk membantu menuntut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar